Usai meminum air enceh, para prajurit dipercaya mempunyai kekuatan bertambah sehingga mereka dapat memenangkan pertempuran melawan Belanda.
Dalam perkembangannya sebagai wujud pengabdian dan penghormatan terhadap Sultan Agung, Nguras Enceh menjadi tradisi yang dilakukan oleh para abdi dalem dan masyarakat Imogiri setiap tahunnya.
Tradisi Nguras Enceh menjadi wujud perilaku religius masyarakat terhadap rajanya yang mampu melindungi rakyatnya walaupun telah mangkat atau meniggal dunia.
Tradisi Nguras Enceh dilakukan setiap tanggal 1 Suro, khususnya hari Jumat Kliwon di Kompleks Makam Raja-raja Mataram Imogiri, Yogyakarta.
Upacara tersebut yang berlangsung setahun sekali ini mampu menyedot banyak pengunjung dengan berbagai tujuan.
Ada pengunjung yang ingin sekedar menyaksikan upacara, berwisata, mendapatkan berkah, dan yang ingin mengetahui makna dibalik tradisi tersebut.
Nguras Enceh diibaratkan bahwa enceh adalah manusia dan air suci merupakan ilmu yang baik.
Tradisi Nguras Receh dimulai dengan menyiapkan sesaji dan memanjatkan doa bersama-sama (tahlil) kepada Tuhan Yang masa Esa.
Baca juga: Mengenal Tradisi Cowongan, Ritual Meminta Hujan di Banyumas: Dari Asal-usul hingga Pelaksanaan
Ssehari sebelumnya, ada kirab budaya yang digelar dengan difasilitasi oleh Dinas Kabudayaan Kabupaten Bantul dan masyarakat Imogiri.
Prosesi dilanjutkan mengisi genthong yang sebelumnya telah dikosongkan.
Pengisian air dilakukan secara bergantian, mulai orang berpangkat tinggi hingga masyarakat umum.
Proses pengisian genthong sampai air meluber, dimana luberan air tersebut dapat digunakan oleh siapa saja atau untuk membasuh wajah.
Sebagian masyarakat menyakini bahwa air tumbahan atau luberan tersebut mengandung berkah dan manfaat.
Tradisi Nguras Enceh memiliki makna mengenai pembelajaran hidup manusia.
Dalam pembersihan enceh tersebut, manusia digambarkan untuk membersihkan hati dari iri maupun dengki sebagai syarat utama menghadap Tuhan.