Salin Artikel

Mengenal Tradisi Nguras Enceh di Makam Imogiri: Asal-usul, Prosesi, dan Filosofi

KOMPAS.com - Nguras Enceh merupakan tradisi yang dilakukan pada bulan Suro, di Makam Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Tradisi Nguras Enceh adalah penyucian enceh atau genthong dan pengisian air kembali. Proses penucian ini tidak lain berasal dari kata Nguras yang mempunyai arti menguras.

Pelaksanaan tradisi tersebut telah dilakukan sejak zaman dahulu.

Tradisi Nguras Enceh

Asal-usul Nguras Enceh

Enceh/genthong atau tempayan merupakan benda yang terbuat dari tanah liat dengan ukuran besar dan biasa digunakan untuk menyimpan air.

Air yang tersimpan dalam genthong umumnya digunakan untuk memasak atau wudhu. Enceh juga kerap digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga.

Enceh yang terdapat di Makam Imogiri merupakan cendramata dari sahabat Sultan Agung.

Enceh tersebut dianggap sebagai benda pusaka dan bertuah atau yag mendatangakan keuntungan.

Dahulu, enceh digunakan oleh Sultan Agung dan Keluarga sebagai tempat berwudhu.

Pada saat Sultan Agung meninggal dunia, enceh yang merupakan salah satu benda kesayangan Sultan Agung diboyong ke Makam Imogiri. Tempat pemakaman raja-raja Mataram.

Enceh Sultan Agung diperoleh dari para sahabat dari beragai kerajaan tersebut berjumlah empat buah, yaitu Nyai Danumurti dari Kerajaan Aceh, Kyai Danumaya  dari Kerajaan Palembang, Kyai Siyem dari Kerajaan Siam (Thailand), dan Kyai Mendung dari Kerajaan Turki.

  • Khasiat air enceh

Pada zaman dahulu, tradisi menguras enceh hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan saja dan tidak sembarang orang boleh meminum airnya.

Air enceh dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Kepercayaan tersebut berawal dari keluarga keraton yang meminum air untuk menyembuhkan penyakit.

Baru pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengirimkan surat kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Isi surat adalah permintaan supaya prajurit TNI yang bertempur di Yogyakarta diperbolehkan minum air suci dari enceh tersebut.

Sri Sultan Hamengkubuwana IX menyetujui permintaan Presiden Soekarno.

Usai meminum air enceh, para prajurit dipercaya mempunyai kekuatan bertambah sehingga mereka dapat memenangkan pertempuran melawan Belanda.

Dalam perkembangannya sebagai wujud pengabdian dan penghormatan terhadap Sultan Agung, Nguras Enceh menjadi tradisi yang dilakukan oleh para abdi dalem dan masyarakat Imogiri setiap tahunnya.

Tradisi Nguras Enceh menjadi wujud perilaku religius masyarakat terhadap rajanya yang mampu melindungi rakyatnya walaupun telah mangkat atau meniggal dunia.

Waktu Pelaksanaan Nguras Enceh

Tradisi Nguras Enceh dilakukan setiap tanggal 1 Suro, khususnya hari Jumat Kliwon di Kompleks Makam Raja-raja Mataram Imogiri, Yogyakarta.

Upacara tersebut yang berlangsung setahun sekali ini mampu menyedot banyak pengunjung dengan berbagai tujuan.

Ada pengunjung yang ingin sekedar menyaksikan upacara, berwisata, mendapatkan berkah, dan yang ingin mengetahui makna dibalik tradisi tersebut.

Nguras Enceh diibaratkan bahwa enceh adalah manusia dan air suci merupakan ilmu yang baik.

Prosesi Nguras Enceh

Tradisi Nguras Receh dimulai dengan menyiapkan sesaji dan memanjatkan doa bersama-sama (tahlil) kepada Tuhan Yang masa Esa.

Ssehari sebelumnya, ada kirab budaya yang digelar dengan difasilitasi oleh Dinas Kabudayaan Kabupaten Bantul dan masyarakat Imogiri.

Prosesi dilanjutkan mengisi genthong yang sebelumnya telah dikosongkan.

Pengisian air dilakukan secara bergantian, mulai orang berpangkat tinggi hingga masyarakat umum.

Proses pengisian genthong sampai air meluber, dimana luberan air tersebut dapat digunakan oleh siapa saja atau untuk membasuh wajah.

Sebagian masyarakat menyakini bahwa air tumbahan atau luberan tersebut mengandung berkah dan manfaat.

Filosofi Nguras Enceh

Tradisi Nguras Enceh memiliki makna mengenai pembelajaran hidup manusia.

Dalam pembersihan enceh tersebut, manusia digambarkan untuk membersihkan hati dari iri maupun dengki sebagai syarat utama menghadap Tuhan.

Tradisi Nguras Enceh juga menggambarkan hidup harus saling bergotong-royong.

Hal tersebut terlihat pada saat, para abdi dalem, juru kunci, dan masyarakat saling membantu mengisi enceh menggunakan ember yang diangkat secara berantai.

Kegiatan tersebut juga mengandung filosofi bahwa manusia perlu menuntut ilmu yang baik, jika mereka telah memperoleh  berilmu harus berbagi dan membantu sesama.

Sumber:

warisanbudaya.kemdikbud.go.id

bantulkab.go.id

kebudayaan.kemdikbud.go.id

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/08/16/163017378/mengenal-tradisi-nguras-enceh-di-makam-imogiri-asal-usul-prosesi-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke