Tidak hanya Sukaryono yang memandikannya. Anggota keluarga besarnya keturunan Dharma Gati, juga beberapa tamu undangan, turut memandikan kitab secara bergantian.
“Tiap lembar ini dioles agar tulisan jelas, bisa dibaca, makna bisa disampaikan pada orang yang datang,” kata Sukaryono.
Terhitung ada 68 lembar daun yang dicuci hari ini. Sukaryono mengatakan, jumlah itu sama dengan jamasan pada 2022 lalu.
Jumlah lembar dalam kitab sesekali bisa berubah. Ini menimbulkan keheranan di antara mereka. Pada suatu hari di masa lalu, kitab pernah tercatat 59 lembar, tapi paling sebanyak 69 lembar.
“Bisa bervariasi, pernah 59. Tahun 1969 sampai 78 lembar,” kata Sukaryono.
Keanehan ini jadi hal biasa di antara mereka. Pasalnya, keunikan lain kadang kala terlihat dari warna lembaran kitab. Kitab sejatinya berwarna coklat terang. Konon, warna kitab berubah seiring situasi negeri yang sedang muram.
Baca juga: Jamasan Pusaka di Puncak Suroloyo Kembali Menyedot Kehadiran Warga dari Berbagai Daerah
“Kalau di gatoke (hubungkan dengan) nalar tidak ketemu. Lembar itu sebenarnya warna cerah. Dua tahun belakangan menjadi gelap dengan coklat tua,” kata Sukaryono.
“Menurut orang-orang di masa lalu. Pada masa Gestapu (warna kitab) gelap lebih dari ini. Kali ini coklat agak tua. Situasi negara dihubungkan ekonomi dan gerak politik. Percaya monggo tidak monggo,” kata Sukaryono.
Generasi ke generasi, tulisan di dalamnya berupa tembang Jawa yang berisi petunjuk hidup dan falsafah hidup.
Kitab sejatinya anjuran bagi semua manusia dan pemerintahan untuk hidup baik. Sukaryono melihat nilai-nilai ajaran dalam kitab itu sama dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Seorang pemerhati bahasa Jawa, Sri Lestari mengungkapkan, dirinya selalu ambil bagian memandikan kitab Kalimasada pada pergantian tahun Jawa ini.
Tertulis di sana aksara Jawa yang sejatinya mudah dibaca dengan bahasa Jawa yang mengandung bahasa sehari-hari.
Baca juga: Malam 1 Suro Keraton Solo, 5 Ekor Kerbau Bule Dikirab, Wali Kota Gibran Tak Hadir
Namun, kondisi lembar kitab sudah tua dan rapuh. Pinggirnya terkikis, tulisannya pudar dan banyak yang sudah sulit terbaca. Akibatnya, banyak yang sulit terbaca sehingga sulit mengetahui maksud dari isi tulisan.
“(Karena) sudah lama, jadi digesek dan tergores, jadi semakin halus, sehingga tidak terbaca. Beberapa ada blok hitam. (Namanya juga) daun lontar, daun siwalan. Karena umur tua maka semakin sulit dibaca. (Aksaranya) kena sinar jadi tidak nampak,” kata Sri Lestari.
Sri Lestari mengungkapkan, ia mampu membaca kitab itu karena aksara Jawa yang ada di sana aksara Jawa yang juga berkembang saat ini.
Dari sejumlah potongan yang terbaca, ia meyakini beberapa tulisan terkait dengan hidup adalah ibadah pada Allah. Namun karena banyak tulisan yang telah pudar, maka maksud sebenarnya tulisan dalam kitab belum bisa dipahami utuh.
Karenanya, ia berharap benda yang memiliki nilainsejarah seperti ini suatu saat bisa lengkap diketahui isinya. Hal ini berguna bagi generasi di masa depan.
“Keterbacaannya 50 persen. Bagi tulisan yang tidak terbaca perlu ada pertemuan yang melibatkan para ahli, seperti ahli bahasa atau ahli agama, juga tokoh budaya. Dengan begitu, mungkin akan ketemu maksudnya apa (tulisan dalam kitab itu) di zamannya,” kata Sri Lestari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.