Salin Artikel

1 Suro, Jadi Saat Memandikan Kitab Daun Lontar Kalimasada di Perkampungan Kecil Kulon Progo

Kitab tersebut terbuat dari daun lontar sebanyak 68 lembar. Tiap lembar daun lontar tertulis aksara Jawa.

Keluarga besar Sukaryono memandikan halaman demi halaman kitab dengan campuran antara air zafaron yang biasa untuk ritual, sedikit alkohol, dan minyak wangi kasturi.

Memandikan dilakukan dengan cara mengoleskan kapas yang telah dibasahi minyak-minyakan itu.

“Dulu dimandikan dengan jadah tanpa garam. Sekarang dijamas pakai minyak zafaron, sedikit alkohol dan kasturi. Pernah suatu waktu pakai minyak arab,” kata Sukaryono usai jamasan, Rabu (19/7/2023).

Kitab Kalimasada merupakan pemberian Raja Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VII pada Ki Dharma Gati alias Wonososro, penjaga hutan di Gunungkidul.

Pemberian keraton merupakan anugerah yang terus dipelihara dan dirawat. Seperti halnya Jamus yang dianggap pusaka, 1 Suro menjadi waktu untuk merawat pemberian keraton tersebut.

Turun temurun generasi Dharma Gati merawat pemberian Sultan HB VII. Tradisi jamasan terus dilakukan hingga Sukaryono yang merupakan generasi ke-4 trah Dharma Gati.

Kitab dimandikan di ruang utama rumah Sukaryono. Mereka menggelar meja kecil dan bantal untuk tempat jamasan. Prosesi memandikan kitab diikuti seluruh keluarga besar dan warga sekitar sebagai tamu diundang.

Mereka berbalut baju Jawa, yakni laki-laki berblangkon, Surjan dan jarit. Terselip keris di pinggang belakang. Sementara yang perempuan menggunakan sanggul dan kebaya.

Semua diawali dengan makan bubur usik. Ini bubur beras putih tanpa garam yang disiram gula merah cair. Makan bubur, menurut Sukaryono, menggambarkan hati yang bersih dan siap menerima petuah isi kitab Kalimasada.

Prosesi dilanjutkan dengan mengeluarkan kitab yang terbungkus kain putih dari kotak penyimpanan.

Ikatan kain putih dibuka, dikeluarkan dari bungkusnya, lalu tampaklah kitab susunan daun lontar yang lebarnya sekitar 4 sentimeter dengan panjang sekitar 40 Cm. Susunan daun terikat tali. Kitab diletakkan pada bantal dan siap dimandikan.

Kitab itu berwarna cokelat, seperti warna daun kering. Tertera aksara Jawa yang terkesan pudar.

Memandikan kitab dilakukan dengan mengoles minyak khusus pada tiap lembar daun. Sukaryono mengawali memandikan tiap lembar. Setelah dioles minyak, aksara Jawa terlihat lebih tajam bersama beberapa tanda-tanda kerusakan dimakan usia yang semakin kentara.

Tidak hanya Sukaryono yang memandikannya. Anggota keluarga besarnya keturunan Dharma Gati, juga beberapa tamu undangan, turut memandikan kitab secara bergantian.

“Tiap lembar ini dioles agar tulisan jelas, bisa dibaca, makna bisa disampaikan pada orang yang datang,” kata Sukaryono.

Terhitung ada 68 lembar daun yang dicuci hari ini. Sukaryono mengatakan, jumlah itu sama dengan jamasan pada 2022 lalu.

Jumlah lembar dalam kitab sesekali bisa berubah. Ini menimbulkan keheranan di antara mereka. Pada suatu hari di masa lalu, kitab pernah tercatat 59 lembar, tapi paling sebanyak 69 lembar.

“Bisa bervariasi, pernah 59. Tahun 1969 sampai 78 lembar,” kata Sukaryono.

Keanehan ini jadi hal biasa di antara mereka. Pasalnya, keunikan lain kadang kala terlihat dari warna lembaran kitab. Kitab sejatinya berwarna coklat terang. Konon, warna kitab berubah seiring situasi negeri yang sedang muram.

“Kalau di gatoke (hubungkan dengan) nalar tidak ketemu. Lembar itu sebenarnya warna cerah. Dua tahun belakangan menjadi gelap dengan coklat tua,” kata Sukaryono.

“Menurut orang-orang di masa lalu. Pada masa Gestapu (warna kitab) gelap lebih dari ini. Kali ini coklat agak tua. Situasi negara dihubungkan ekonomi dan gerak politik. Percaya monggo tidak monggo,” kata Sukaryono.

Generasi ke generasi, tulisan di dalamnya berupa tembang Jawa yang berisi petunjuk hidup dan falsafah hidup.

Kitab sejatinya anjuran bagi semua manusia dan pemerintahan untuk hidup baik. Sukaryono melihat nilai-nilai ajaran dalam kitab itu sama dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Rapuh

Seorang pemerhati bahasa Jawa, Sri Lestari mengungkapkan, dirinya selalu ambil bagian memandikan kitab Kalimasada pada pergantian tahun Jawa ini.

Tertulis di sana aksara Jawa yang sejatinya mudah dibaca dengan bahasa Jawa yang mengandung bahasa sehari-hari.

Namun, kondisi lembar kitab sudah tua dan rapuh. Pinggirnya terkikis, tulisannya pudar dan banyak yang sudah sulit terbaca. Akibatnya, banyak yang sulit terbaca sehingga sulit mengetahui maksud dari isi tulisan.

“(Karena) sudah lama, jadi digesek dan tergores, jadi semakin halus, sehingga tidak terbaca. Beberapa ada blok hitam. (Namanya juga) daun lontar, daun siwalan. Karena umur tua maka semakin sulit dibaca. (Aksaranya) kena sinar jadi tidak nampak,” kata Sri Lestari.

Sri Lestari mengungkapkan, ia mampu membaca kitab itu karena aksara Jawa yang ada di sana aksara Jawa yang juga berkembang saat ini.

Dari sejumlah potongan yang terbaca, ia meyakini beberapa tulisan terkait dengan hidup adalah ibadah pada Allah. Namun karena banyak tulisan yang telah pudar, maka maksud sebenarnya tulisan dalam kitab belum bisa dipahami utuh.

Karenanya, ia berharap benda yang memiliki nilainsejarah seperti ini suatu saat bisa lengkap diketahui isinya. Hal ini berguna bagi generasi di masa depan.

“Keterbacaannya 50 persen. Bagi tulisan yang tidak terbaca perlu ada pertemuan yang melibatkan para ahli, seperti ahli bahasa atau ahli agama, juga tokoh budaya. Dengan begitu, mungkin akan ketemu maksudnya apa (tulisan dalam kitab itu) di zamannya,” kata Sri Lestari.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/07/20/103809778/1-suro-jadi-saat-memandikan-kitab-daun-lontar-kalimasada-di-perkampungan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke