Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

1 Suro, Jadi Saat Memandikan Kitab Daun Lontar Kalimasada di Perkampungan Kecil Kulon Progo

Kompas.com - 20/07/2023, 10:38 WIB
Dani Julius Zebua,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com – Setiap 1 Suro atau awal tahun pada penanggalan Jawa, keluarga besar dari Mbah Sukaryono (78) memandikan kitab Kalimasada di rumah mereka pada Pedukuhan Klebakan, Kalurahan Salamrejo, Kapanewon Sentolo, KabupatennKulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kitab tersebut terbuat dari daun lontar sebanyak 68 lembar. Tiap lembar daun lontar tertulis aksara Jawa.

Keluarga besar Sukaryono memandikan halaman demi halaman kitab dengan campuran antara air zafaron yang biasa untuk ritual, sedikit alkohol, dan minyak wangi kasturi.

Baca juga: Jamasan Pusaka, Salah Satu Tradisi Keraton Yogyakarta di Bulan Suro

Memandikan dilakukan dengan cara mengoleskan kapas yang telah dibasahi minyak-minyakan itu.

“Dulu dimandikan dengan jadah tanpa garam. Sekarang dijamas pakai minyak zafaron, sedikit alkohol dan kasturi. Pernah suatu waktu pakai minyak arab,” kata Sukaryono usai jamasan, Rabu (19/7/2023).

Kitab Kalimasada merupakan pemberian Raja Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VII pada Ki Dharma Gati alias Wonososro, penjaga hutan di Gunungkidul.

Pemberian keraton merupakan anugerah yang terus dipelihara dan dirawat. Seperti halnya Jamus yang dianggap pusaka, 1 Suro menjadi waktu untuk merawat pemberian keraton tersebut.

Turun temurun generasi Dharma Gati merawat pemberian Sultan HB VII. Tradisi jamasan terus dilakukan hingga Sukaryono yang merupakan generasi ke-4 trah Dharma Gati.

Kitab dimandikan di ruang utama rumah Sukaryono. Mereka menggelar meja kecil dan bantal untuk tempat jamasan. Prosesi memandikan kitab diikuti seluruh keluarga besar dan warga sekitar sebagai tamu diundang.

Baca juga: Mengintip Tradisi Jamasan Keris Kiai Cinthaka Milik Sunan Kudus

Mereka berbalut baju Jawa, yakni laki-laki berblangkon, Surjan dan jarit. Terselip keris di pinggang belakang. Sementara yang perempuan menggunakan sanggul dan kebaya.

Semua diawali dengan makan bubur usik. Ini bubur beras putih tanpa garam yang disiram gula merah cair. Makan bubur, menurut Sukaryono, menggambarkan hati yang bersih dan siap menerima petuah isi kitab Kalimasada.

Prosesi dilanjutkan dengan mengeluarkan kitab yang terbungkus kain putih dari kotak penyimpanan.

Ikatan kain putih dibuka, dikeluarkan dari bungkusnya, lalu tampaklah kitab susunan daun lontar yang lebarnya sekitar 4 sentimeter dengan panjang sekitar 40 Cm. Susunan daun terikat tali. Kitab diletakkan pada bantal dan siap dimandikan.

Mbah Sukaryono (78) memandikan kitab Kalimasadandi rumah mereka pada Pedukuhan Klebakan, Kalurahan Salamrejo, KapanewonnSentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Anggota keluarga besar dan mereka yang diundang bergantian memandikan tiap lembar kitab.- Mbah Sukaryono (78) memandikan kitab Kalimasadandi rumah mereka pada Pedukuhan Klebakan, Kalurahan Salamrejo, KapanewonnSentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Anggota keluarga besar dan mereka yang diundang bergantian memandikan tiap lembar kitab.

Kitab itu berwarna cokelat, seperti warna daun kering. Tertera aksara Jawa yang terkesan pudar.

Memandikan kitab dilakukan dengan mengoles minyak khusus pada tiap lembar daun. Sukaryono mengawali memandikan tiap lembar. Setelah dioles minyak, aksara Jawa terlihat lebih tajam bersama beberapa tanda-tanda kerusakan dimakan usia yang semakin kentara.

Baca juga: Mengapa Bulan Suro Identik dengan Kirab dan Jamasan Pusaka? Ini Penjelasan Budayawan

Tidak hanya Sukaryono yang memandikannya. Anggota keluarga besarnya keturunan Dharma Gati, juga beberapa tamu undangan, turut memandikan kitab secara bergantian.

“Tiap lembar ini dioles agar tulisan jelas, bisa dibaca, makna bisa disampaikan pada orang yang datang,” kata Sukaryono.

Terhitung ada 68 lembar daun yang dicuci hari ini. Sukaryono mengatakan, jumlah itu sama dengan jamasan pada 2022 lalu.

Jumlah lembar dalam kitab sesekali bisa berubah. Ini menimbulkan keheranan di antara mereka. Pada suatu hari di masa lalu, kitab pernah tercatat 59 lembar, tapi paling sebanyak 69 lembar.

“Bisa bervariasi, pernah 59. Tahun 1969 sampai 78 lembar,” kata Sukaryono.

Keanehan ini jadi hal biasa di antara mereka. Pasalnya, keunikan lain kadang kala terlihat dari warna lembaran kitab. Kitab sejatinya berwarna coklat terang. Konon, warna kitab berubah seiring situasi negeri yang sedang muram.

Baca juga: Jamasan Pusaka di Puncak Suroloyo Kembali Menyedot Kehadiran Warga dari Berbagai Daerah

“Kalau di gatoke (hubungkan dengan) nalar tidak ketemu. Lembar itu sebenarnya warna cerah. Dua tahun belakangan menjadi gelap dengan coklat tua,” kata Sukaryono.

“Menurut orang-orang di masa lalu. Pada masa Gestapu (warna kitab) gelap lebih dari ini. Kali ini coklat agak tua. Situasi negara dihubungkan ekonomi dan gerak politik. Percaya monggo tidak monggo,” kata Sukaryono.

Generasi ke generasi, tulisan di dalamnya berupa tembang Jawa yang berisi petunjuk hidup dan falsafah hidup.

Kitab sejatinya anjuran bagi semua manusia dan pemerintahan untuk hidup baik. Sukaryono melihat nilai-nilai ajaran dalam kitab itu sama dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Rapuh

Seorang pemerhati bahasa Jawa, Sri Lestari mengungkapkan, dirinya selalu ambil bagian memandikan kitab Kalimasada pada pergantian tahun Jawa ini.

Tertulis di sana aksara Jawa yang sejatinya mudah dibaca dengan bahasa Jawa yang mengandung bahasa sehari-hari.

Baca juga: Malam 1 Suro Keraton Solo, 5 Ekor Kerbau Bule Dikirab, Wali Kota Gibran Tak Hadir

Namun, kondisi lembar kitab sudah tua dan rapuh. Pinggirnya terkikis, tulisannya pudar dan banyak yang sudah sulit terbaca. Akibatnya, banyak yang sulit terbaca sehingga sulit mengetahui maksud dari isi tulisan.

Mbah Sukaryono (78) memandikan kitab Kalimasadandi rumah mereka pada Pedukuhan Klebakan, Kalurahan Salamrejo, KapanewonnSentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Anggota keluarga besar dan mereka yang diundang bergantian memandikan tiap lembar kitab.- Mbah Sukaryono (78) memandikan kitab Kalimasadandi rumah mereka pada Pedukuhan Klebakan, Kalurahan Salamrejo, KapanewonnSentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Anggota keluarga besar dan mereka yang diundang bergantian memandikan tiap lembar kitab.

“(Karena) sudah lama, jadi digesek dan tergores, jadi semakin halus, sehingga tidak terbaca. Beberapa ada blok hitam. (Namanya juga) daun lontar, daun siwalan. Karena umur tua maka semakin sulit dibaca. (Aksaranya) kena sinar jadi tidak nampak,” kata Sri Lestari.

Sri Lestari mengungkapkan, ia mampu membaca kitab itu karena aksara Jawa yang ada di sana aksara Jawa yang juga berkembang saat ini.

Dari sejumlah potongan yang terbaca, ia meyakini beberapa tulisan terkait dengan hidup adalah ibadah pada Allah. Namun karena banyak tulisan yang telah pudar, maka maksud sebenarnya tulisan dalam kitab belum bisa dipahami utuh.

Karenanya, ia berharap benda yang memiliki nilainsejarah seperti ini suatu saat bisa lengkap diketahui isinya. Hal ini berguna bagi generasi di masa depan.

“Keterbacaannya 50 persen. Bagi tulisan yang tidak terbaca perlu ada pertemuan yang melibatkan para ahli, seperti ahli bahasa atau ahli agama, juga tokoh budaya. Dengan begitu, mungkin akan ketemu maksudnya apa (tulisan dalam kitab itu) di zamannya,” kata Sri Lestari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemkot Yogyakarta Bakal Kirim Sampah ke Bantul untuk Diolah

Pemkot Yogyakarta Bakal Kirim Sampah ke Bantul untuk Diolah

Yogyakarta
Kantornya Digeruduk Warga Gara-gara Penumpukan Sampah, Ini Respons DLH Yogyakarta

Kantornya Digeruduk Warga Gara-gara Penumpukan Sampah, Ini Respons DLH Yogyakarta

Yogyakarta
Bupati Sleman Kustini Mendaftar Maju Pilkada lewat PDI-P

Bupati Sleman Kustini Mendaftar Maju Pilkada lewat PDI-P

Yogyakarta
Tumpukan Sampah di Depo Pengok Yogyakarta, Ekonomi Warga Terdampak

Tumpukan Sampah di Depo Pengok Yogyakarta, Ekonomi Warga Terdampak

Yogyakarta
Bau Sampah Tercium hingga Radius 1 Km, Warga Kampung Pengok Geruduk Kantor DLH Kota Yogyakarta

Bau Sampah Tercium hingga Radius 1 Km, Warga Kampung Pengok Geruduk Kantor DLH Kota Yogyakarta

Yogyakarta
Sayangkan Larangan 'Study Tour' di Sejumlah Daerah, PHRI Gunungkidul: Bisa Berdampak Luas

Sayangkan Larangan "Study Tour" di Sejumlah Daerah, PHRI Gunungkidul: Bisa Berdampak Luas

Yogyakarta
Beberapa Daerah Larang 'Study Tour', PHRI DIY: Apa Bedanya dengan Kunker?

Beberapa Daerah Larang "Study Tour", PHRI DIY: Apa Bedanya dengan Kunker?

Yogyakarta
Pegawai K2 Gunungkidul Minta Diangkat Jadi ASN, Sudah Mengabdi dan Sebagian Akan Pensiun

Pegawai K2 Gunungkidul Minta Diangkat Jadi ASN, Sudah Mengabdi dan Sebagian Akan Pensiun

Yogyakarta
Sumbu Filosofi Yogyakarta Miliki Potensi Bencana, Apa Saja?

Sumbu Filosofi Yogyakarta Miliki Potensi Bencana, Apa Saja?

Yogyakarta
 Mengenal Hewan Raja Kaya dan Maknanya dalam Kehidupan Masyarakat Jawa

Mengenal Hewan Raja Kaya dan Maknanya dalam Kehidupan Masyarakat Jawa

Yogyakarta
Luncurkan Indonesia Heritage Agency, Nadiem: Jadikan Museum dan Cagar Budaya Tujuan Wisata Edukasi

Luncurkan Indonesia Heritage Agency, Nadiem: Jadikan Museum dan Cagar Budaya Tujuan Wisata Edukasi

Yogyakarta
Dipecat dan Tak Diberi Uang Layak, Pria di Kulon Progo Curi Rp 35 Juta Uang Kantor

Dipecat dan Tak Diberi Uang Layak, Pria di Kulon Progo Curi Rp 35 Juta Uang Kantor

Yogyakarta
Sleman Masih Kekurangan Ribuan Hewan Kurban untuk Idul Adha

Sleman Masih Kekurangan Ribuan Hewan Kurban untuk Idul Adha

Yogyakarta
Keluarga Jadi Korban Keracunan Massal di Gunungkidul, Adrian: Makan Mi dan Daging

Keluarga Jadi Korban Keracunan Massal di Gunungkidul, Adrian: Makan Mi dan Daging

Yogyakarta
Optimalisasi Pembenahan Museum dan Cagar Budaya Melalui Indonesia Heritage Agency

Optimalisasi Pembenahan Museum dan Cagar Budaya Melalui Indonesia Heritage Agency

Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com