Keberadaan bangunan ini kini menjadi bagian penanda dari sejarah masuknya listrik ke Kota Yogyakarta, dan telah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya.
Pada tahun 1911, masyarakat Yogyakarta masih menggunakan minyak jarak sebagai bahan bakar penerangan.
Kemudian pada akhir abad 19 sampai dengan tahun 1919, Keraton Yogyakarta beralih menggunakan gas sebagai sumber penerangan.
Namun seiring perkembangan di dunia industri, berbagai usaha yang ada di tanah jajahan, dan kepentingan masyarakat, pihak Keraton Yogyakarta (Sultan HB VII) dengan Residen Yogyakarta (Barend Leonardus van Bijlevelt) kemudian mulai mengusahakan adanya jaringan instalasi kelistrikan.
Hingga pada Februari 1914, ANIEM mendapat hak dalam mengusahakan jaringan listrik untuk Kota Yogyakarta yang proses pengerjaan infrastruktur jaringannya memerlukan waktu kira-kira empat tahun.
Daya listrik yang mengalir di Kota Yogyakarta kala itu berasal dari pembangkit yang ada di Tuntang, Semarang.
Sehingga ANIEM pun mulai membangun jaringan listrik dari Semarang ke Yogyakarta sejak 1904 dan baru selesai pada 1918.
Pada tahun 1918, ANIEM selesai membangun infrastruktur dasar kelistrikan dan siap beroperasi secara optimal.
Pembangunan instalasi yang pertama adalah pembangunan gedung pabrik ANIEM di Wirobrajan.
Kemudian dibangun juga transformator atau babon ANIEM di beberapa daerah di Yogyakarta seperti sekitar benteng baluwarti keraton, Danurejan Malioboro, Pengok, Pingit, Kotabaru, dan Kotagede.
ANIEM mulai membangun jaringan listrik di Yogyakarta dengan prioritas di kawasan hunian bagi masyarakat Eropa di Kotabaru.
Babon ANIEM yang ada di Kotabaru ini dibangun sekitar tahun 1918 dan berfungsi sebagai pengatur dan pembagi daya listrik di kawasan Kotabaru.
Dibutuhkan waktu 5 tahun bagi ANIEM untuk membangun jaringan listrik di Yogyakarta.
Pada 1919, wilayah Yogyakarta yang teraliri listrik meliputi njeron beteng, Malioboro, dan Kotabaru.
Di tahun yang sama juga