KOMPAS.com - Masyarakat dan wisatawan di Kota Yogyakarta kerap dibuat penasaran dengan keberadaan bangunan tua di dekat persimpangan jalan yang disebut babon ANIEM.
Kota Yogyakarta diketahui masih memiliki tiga bangunan babon ANIEM peninggalan Hindia Belanda.
Ketiga babon ANIEM ini masih berdiri kokoh di tengah persimpangan di depan Taman Parkir Abu Bakar Ali Malioboro, persimpangan Jalan F.M. Noto Kotabaru, dan di Pasar Kotagede.
Baca juga: Siti Hinggil, Tempat Singgasana Sultan di Keraton Yogyakarta
Dilansir dari laman kebudayaan.jogjakota.go.id, babon ANIEM dibangun perusahaan penyedia listrik swasta yang ada di Hindia Belanda.
Perusahaan penyedia listrik swasta ini bernama Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteits-Maatschappij atau biasa disebut sebagai ANIEM.
Baca juga: Mengenal Abdi Dalem Keraton Yogyakarta: Tugas, Pangkat, Pengangkatan, hingga Pemberhentian
Dilansir dari laman Kemendikbud, ANIEM merupakan perusahaan yang berada di bawah NV Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co yang berdiri pada tahun 1897.
Pada awal abad 19 ANIEM menjadi perusahaan paling sukses dan paling besar di Hindia Belanda, dengan induk perusahaan yang berkedudukan di Kota Amsterdam, Belanda.
Baca juga: Kisah Abdi Dalem Mertolulut, Algojo Keraton Yogyakarta yang Melakukan Eksekusi Atas Perintah Raja
Babon ANIEM adalah bangunan gardu listrik yang dibangun ANIEM, perusahaan penyedia listrik swasta Hindia Belanda.
Masyarakat Jawa menggunakan sebutan babon ANIEM untuk menyebut bangunan gardu yang berfungsi sebagai salah satu transformasi pendistribusian jaringan listrik di beberapa wilayah Kota Yogyakarta.
Bentuk bangunan gardu listrik kuno di Yogyakarta ini dominan empat persegi panjang, secara keseluruhan dengan dinding terbuat dari batu bata.
Terdapat perlubangan dinding yang berbentuk jendela dan pintu berbahan besi, ventilasi dan cantilever.
Pada babon ANIEM di Jalan Abu Bakar Ali terdapat tulisan angka 29 pada dinding dan tulisan peringatan berbahasa Indonesia ‘awas elestrik’, tulisan Jawa yang berbunyi ‘sing ngemèk mati’ (yang menyentuh meninggal), dan tulisan latin Bahasa Belanda berbunyi Levensgesvaar sudah dihilangkan (bekas masih terlihat).
Tulisan tersebut dicetak pada sebuah plat yang ditempel pada bagian daun pintu.
Pada keempat temboknya, sisi utara, timur, selatan dan barat terdapat garis-garis horizontal yang dibuat menonjol sehingga terbagi menjadi tiga bagian, bawah-tengah-atas.
Babon ANIEM dahulu memang berada di tempat-tempat strategis, baik berada di titik simpul jejalur maupun berada di pinggir utama.
Keberadaan bangunan ini kini menjadi bagian penanda dari sejarah masuknya listrik ke Kota Yogyakarta, dan telah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya.
Pada tahun 1911, masyarakat Yogyakarta masih menggunakan minyak jarak sebagai bahan bakar penerangan.
Kemudian pada akhir abad 19 sampai dengan tahun 1919, Keraton Yogyakarta beralih menggunakan gas sebagai sumber penerangan.
Namun seiring perkembangan di dunia industri, berbagai usaha yang ada di tanah jajahan, dan kepentingan masyarakat, pihak Keraton Yogyakarta (Sultan HB VII) dengan Residen Yogyakarta (Barend Leonardus van Bijlevelt) kemudian mulai mengusahakan adanya jaringan instalasi kelistrikan.
Hingga pada Februari 1914, ANIEM mendapat hak dalam mengusahakan jaringan listrik untuk Kota Yogyakarta yang proses pengerjaan infrastruktur jaringannya memerlukan waktu kira-kira empat tahun.
Daya listrik yang mengalir di Kota Yogyakarta kala itu berasal dari pembangkit yang ada di Tuntang, Semarang.
Sehingga ANIEM pun mulai membangun jaringan listrik dari Semarang ke Yogyakarta sejak 1904 dan baru selesai pada 1918.
Pada tahun 1918, ANIEM selesai membangun infrastruktur dasar kelistrikan dan siap beroperasi secara optimal.
Pembangunan instalasi yang pertama adalah pembangunan gedung pabrik ANIEM di Wirobrajan.
Kemudian dibangun juga transformator atau babon ANIEM di beberapa daerah di Yogyakarta seperti sekitar benteng baluwarti keraton, Danurejan Malioboro, Pengok, Pingit, Kotabaru, dan Kotagede.
ANIEM mulai membangun jaringan listrik di Yogyakarta dengan prioritas di kawasan hunian bagi masyarakat Eropa di Kotabaru.
Babon ANIEM yang ada di Kotabaru ini dibangun sekitar tahun 1918 dan berfungsi sebagai pengatur dan pembagi daya listrik di kawasan Kotabaru.
Dibutuhkan waktu 5 tahun bagi ANIEM untuk membangun jaringan listrik di Yogyakarta.
Pada 1919, wilayah Yogyakarta yang teraliri listrik meliputi njeron beteng, Malioboro, dan Kotabaru.
Di tahun yang sama juga
terjadi peningkatan permintaan sambungan listrik di Yogyakarta yang membuat ANIEM memutuskan untuk membangun pembangkit listrik tenaga diesel.
Pembangkit listrik tenaga diesel tersebut selesai dibangun pada 1922, dan akhirnya seluruh wilayah kota Yogyakarta telah teraliri listrik.
Hingga tahun 1939, seluruh wilayah Karesidenan Yogyakarta, mulai dari Pingit hingga Wirobrajan telah teraliri listrik.
Listrik tidak hanya dialirkan untuk wilayah-wilayah pemukiman, namun juga untuk kepentingan penerangan jalan umum yang biayanya ditanggung oleh Keraton.
Saat itu, biaya pengadaan listrik termasuk masih sangat mahal untuk dijangkau masyarakat umum.
Pada 1938 saja, tagihan listrik yang harus dibayarkan setiap bulan untuk dua buah lampu yang masing-masing berukuran 10 watt adalah sebesar ƒ 1,- atau setara dengan harga 15 kg beras pada waktu itu.
Sumber:
https://kebudayaan.jogjakota.go.id/babon-aniem-kotabaru
https://kebudayaan.jogjakota.go.id/babon-aniem-inna-garuda
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/bangunan-gardu-aniem/
https://jogjacagar.jogjaprov.go.id/detail/4004/bangunan-gardu-aniem