Jika para pemilik toko itu mengaku "pernah dimintai uang" oleh Kentus dkk, demikian menurut Bu Nuk, suaminya, Monyol dan Mantri bakal ditembak mati.
Kekhawatiran itu tak terbukti. Mereka akhirnya 'selamat' dari operasi 'anti gali' di Yogyakarta.
"Bapak akhirnya bebas dan terbukti tidak bersalah," ujar Bu Nuk.
Baca juga: Kasus Penembakan Misterius di Sarolangun, Polda Jambi Temukan Fakta Baru
Tapi, setelah bebas, ternyata persoalan belum usai. Kentus dan dua orang lainnya setiap Senin "harus apel" di Koramil.
Tempat tinggal Kentus pun masih sering "dikelilingi intel". Dan itu membuat Kentus tidak jenak tidur di rumah, aku istrinya.
"Bapak tidur di tetangga, tidak berani di rumah," kata Bu Nuk. Para tetangganya tidak pernah menjauhi atau mendiskriminasi keluarga itu.
Memiliki suami yang dicap sebagai gali, Wahyu Handayani tidak dapat menghindar dari gunjingan yang membuatnya tidak nyaman.
Suatu saat, ketika naik bus kota, dia mendengar ada beberapa penumpang yang mengeluarkan kata-kata yang "menyakitkannya", yaitu tidak keberatan apabila suaminya ditembak mati. "Daripada harus dibebaskan," ungkapnya.
Saat itu Yogyakarta tengah diramaikan kasus-kasus penembakan para gali.
Direktur LBH Yogyakarta, Sumarni Basyarauddin yang mendampingi Kentus, Monyol, dan Mantri, pun mendapat perlakuan sama. Dia bahkan mendapatkan teror di rumahnya.
Telepon rumahnya selalu berdering dan mencaci tindakan LBH yang dianggap "sok pahlawan" karena membantu tiga orang yang dicap gali itu. Mereka bahkan diancam digranat atau dilempar molotov.
Baca juga: Penembakan Misterius di Medan Tewaskan Pebalap Liar, Selongsong Peluru Diuji Balistik
Daris Purba mantan anggota LBH Yogyakarta yang ikut melakukan advokasi saat itu, mengatakan, rumah Direktur LBH sampai dilempari sesuatu yang "meledak".
Mantan anggota LBH Yogyakarta lainnya, Nur Ismanto mengatakan hal sama. Selain teror melalui telepon dan bunyi ledakan, sejumlah orang memasang spanduk di depan rumah pimpinan LBH Yogyakarta.
Tulisan yang tertera di lembaran spanduk "40 ribu masyarakat Yogyakarta menentang perlindungan terhadap gali".
Nur Ismanto mengaku, tak sedikit anggota masyarakat yang mendukung operasi pemberantasan gali oleh Garnisun.
Hal itu bisa terjadi, demikian kata Ismanto, karena sebagian "masyarakat tidak paham hukum, dan cenderung membenarkan tindakan yang dilakukan petugas OPK".
Dihadapkan ancaman seperti itu, LBH Yogyakarta memilih tetap melindungi Kentus, Monyol, dan Mantri, dari tindakan main hakim sendiri.
"Akhirnya mereka selamat, meskipun mereka juga tidak diadili karena memang buktinya tidak ada," kata Nur Ismanto.
Baca juga: Penembakan Misterius di Ciracas: Ibu Hamil Jadi Korban, Dulu Lansia
"Suami saya di-blacklist sampai enggak bisa dapat kerja," ujar Bu Nuk.
Kentus, menurut Bu Nuk, tak bisa bebas mencari kerja lantaran masih harus apel seminggu sekali. Dan itu berjalan sampai lima tahun lebih.
Setiap kali melamar pekerjaan, selalu ditolak. Kentus hanya bisa menjadi kenek bus kota dengan pendapatan yang tidak seberapa. Padahal saat itu, tiga anak Kentus sudah masuk sekolah dan butuh biaya pendidikan.
"Mau beli sepatu dan buku saja susahnya minta ampun," kenang Bu Nuk.
Pernah anak-anaknya disuruh pulang dan tidak boleh ikut ujian. Alasannya, mereka belum melunasi uang SPP.
Baca juga: Terjadi Penembakan Misterius di Medan, Seorang Pebalap Liar Tewas
Tak hanya itu, Bu Nuk mengaku anaknya juga mau dikeluarkan kalau sampai tidak bisa bayar.
"Keuangan kacau, utangnya banyak," kenang Bu Nuk, getir.
Demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, Bu Nuk dan Kentus menjual nasi bungkus dan penganan gorengan.
Mereka lalu menyetorkannya ke berbagai warung angkringan di sekitar rumah. Hasilnya memang tak seberapa, tapi cukup untuk makan mereka sekeluarga.
Ketika ditanya berapa kerugian yang diderita Kentus setelah peristiwa itu, Bu Nuk tak bisa menjawab pasti. Dia terdiam dan menerawang ke langit-langit atap rumahnya.
"Anak saya empat, suami tak bisa kerja lima tahun lebih, dan hanya mengandalkan jualan gorengan di angkringan. Berapa kira-kira kerugiannya, mas?" Bu Nuk balik bertanya.
Sejak awal sampai sekarang, Bu Nuk beserta Kentus dan empat orang anaknya, tinggal di rumah kontrakan di atas sebidang tanah yang luasnya sekitar 7x8 meter.
Rumah itu terdiri ruang tamu yang disekat jadi kamar tidur. Dan satu ruangan lagi merupakan kamar mandi. Agar cukup untuk tidur satu keluarga, Kentus membuat tempat tidur bertingkat.
"Itu kamar anak-anak," kata Bu Nuk sambil menunjuk kamar tidurnya yang bertingkat. Untuk keperluan masak, Bu Nuk melakukannya di depan rumah.
Bu Nuk kembali bertanya, kondisi rumah seperti yang mereka huni itu, apakah pantas Kentus dicap sebagai gali yang suka memeras pemilik toko?
Padahal, lanjut Bu Nuk, media selalu menyebut, ciri khas rumah seorang gali: besar dan bagus, perabotannya lengkap dan mahal, serta punya koleksi kendaraan mahal.
Baca juga: Bukan Pertama Kalinya, Lansia di Ciracas Juga Pernah Jadi Korban Penembakan Misterius
Dalam pemberitaan media saat itu, memang ada yang mengulas kekayaan gali yang tewas tertembak dalam OPK. Misalnya, ada gali dengan pendapatan 2,5 juta sebulan, perabotan rumah tangganya lengkap dan mahal, serta punya kendaraan motor dan mobil.
Istri Kentus ingin protes dengan anggapan itu. Dia berusaha mengubah persepsi yang menurutnya salah.
"Kami tidak punya itu. Sepeda saja tidak punya. Dan ini saja cuma dua kamar," katanya sambil melihat sekeliling rumah yang dia tinggali.
Rumah Bu Nuk berdempetan dengan rumah-rumah tetangga lainnya. Jalan kampung sangat sempit, hanya cukup untuk lewat satu kendaraan.
Dari depan rumahnya, Bu Nuk bisa melihat siapa saja yang akan datang atau melewati rumahnya. Bukan paling ujung, tapi sangat strategis.
"Di sebelah sana, rumahnya Mas Monyol. Dan itu, rumah Mas Mantri," kata Bu Nuk sambil menunjuk beberapa petak rumah yang terletak di sebelah kanan rumahnya.
Baca juga: Akhir Rentetan Penembakan Misterius yang Incar Pengedara di Tangsel
Dulu, menurut Bu Nuk, pada era 1980-an, nama Wahyo, Gaplek, dan Monyol, sangat disegani di Yogyakarta.
Mereka sering disebut 'Tiga Serangkai'. Dua nama yang disebut Bu Nuk di awal, sudah meninggal. Mereka tertembak peluru petugas Garnisun dalam operasi gabungan pemberantasan gali.
Sementara di tempat tinggal Bu Nuk, kampung Jlagran, juga ditakuti. Di kampung ini, ada Monyol, Mantri, dan Kentus.
"Dulu Jlagran ditakuti karena ada Mas Monyol, Mas Mantri, dan bapak. Enggak ada yang berani," kata Bu Nuk.
Kadang, Wahyo dan Slamet Gaplek berkunjung ke rumahnya, menemui Kentus. Bu Nuk tak tahu pasti keperluan mereka apa. Tapi kadang pembicaraan mereka seputar partai politik atau menjadi satuan pengamanan parpol.
"Sini terkenalnya kampung Texas, mas," Titi ikut menambahi.
Baca juga: Rentetan Penembakan Misterius di Serpong, Pelaku Diduga Sasar Pengendara Motor
Tiga orang yang disebut gali di kampung ini pernah menjadi target OPK, Kentus salah satunya.
Mereka menolak disebut gali karena tidak pernah melakukan tindakan kejahatan dan punya pekerjaan jelas. LBH Jakarta dan Yogyakarta, mengadvokasinya, dan berhasil.