Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Keluarga Korban Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Bu Nuk Khawatir Menunggu Sang Suami Pulang

Kompas.com - 13/04/2023, 06:30 WIB
Rachmawati

Editor

Salah-satu anak Kentus, Titi, tak mengetahui secara langsung apakah ayahnya memang pernah menjadi target.

Saat itu, dia belum lahir. Yang dia tahu, ayahnya punya pekerjaan. Menjadi penjaga keamanan dan pengelola parkir.

"Bapak saya memang gali, tapi kan tidak merugikan orang," kata Titi, mengenang ayahnya.

Baca juga: Salah Satu Korban Tewas Penembakan Misterius di Mimika Merupakan Mahasiswa di Tangerang

Sekalipun dicap sebagai gali, Kentus juga manusia dan berhak mendapatkan keadilan, ujarnya. Titi tidak rela kalau saat itu ayahnya begitu saja dieksekusi tembak tanpa proses pengadilan.

Baginya, kalaupun harus dieksekusi tembak, haruslah lewat pengadilan.

"Gali juga berhak dapat keadilan. Ojo dumeh gali terus ditembak. Saya gak terima kalau begitu," katanya.

Senada dengan Titi, Ismanto, menyatakan, yang dibela LBH bukanlah galinya, tapi tindakan menyalahi hukum yang dilakukan Kodim kepada masyarakat.

Yang dilakukan Kodim, menurut Ismanto, tidak ada legalitasnya, dan termasuk perbuatan main hakim sendiri, bahkan penyalahgunaan wewenang.

"Itu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)," katanya.

Baca juga: Penembakan Misterius Pedagang Kopi, Polisi Uji Proyektil Peluru

Ismanto juga mempertanyakan definisi gali yang dimaksud dalam OPK. Baginya, kriterianya tidak jelas dan cenderung bias. Tidak ada tolok ukur yang jelas seperti apa gali.

Persoalan menjadi melebar ketika saat itu muncul generalisasi, karena gali ada yang bertato, maka orang yang bertato dianggap gali.

Itulah mengapa, menurutnya, sikap LBH "tegas" dan "keras". "Kalau salah, mestinya proses hukum yang ditegakkan," jelas Nur Ismanto.

Kentus dalam hati keluarga

Suatu hari, Kentus pergi mencari nafkah untuk keluarganya, jadi kenek bus kota. Saat itu, Bu Nuk menunggu di rumah, dia sudah berpesan pada suaminya beli susu kaleng untuk anaknya yang nomor dua.

"Bapak lalu pamit berangkat kerja," ujar Bu Nuk.

Lama sekali suaminya tak kembali. Sampai sore. Jelang magrib, suaminya pulang. Tak membawa susu pesanan Bu Nuk. Katanya, uangnya hari itu diberikan kepada temannya yang mau melahirkan. Kentus merasa kasihan karena temannya tidak punya uang dan butuh biaya melahirkan.

"Tapi pulang tidak bawa susu. Uangnya dikasih temannya yang mau melahirkan," kenang Bu Nuk. "Bapak itu orang baik," imbuh Bu Nuk dengan mata berkaca-kaca.

Baca juga: Wiranto: Tidak Mudah Menuntaskan Kasus Penembakan Misterius 1982

Dengan tetangga, lanjut Bu Nuk, suaminya itu selalu membantu. Bahkan kepada mahasiswa penelitian, suaminya bersedia mengantarkan sampai ke Gunung Kidul.

Melihat gua atau luweng yang diduga digunakan sebagai tempat pembuangan korban OPK. Padahal waktu itu, Kentus dalam kondisi tidak sehat.

"Habis itu bapak jatuh dan masuk rumah sakit," katanya.

Titi, anak terakhir Kentus, meski dia tak tahu saat peristiwa OPK, karena belum lahir, dia yakin ayahnya orang baik. Ayahnya mau bekerja apa saja demi mencukupi kebutuhan keluarga.

"Bapak itu sampai mau jadi tukang parkir, mas" kata Titi. "Padahal bapak orang disegani di kampung," imbuhnya.

Baca juga: 3 Serpihan Peluru Ditemukan di Korban Penembakan Misterius di Pasteur Bandung

Dan, empat tahun silam, 7 September, Kentus meninggal dunia akibat sakit. Rumahnya kontrakannya yang hanya sepetak, tak cukup menampung banyaknya para pelayat yang datang.

"Waktu bapak meninggal, Jlagran setengah tiang. Waktu meninggal di Balai, rumah enggak muat [menampung tamu]," kenang Bu Nuk.

Menanti bukti janji Presiden

Presiden Joko Widodo, atas nama negara, telah menyatakan peristiwa penembakan dengan rentang waktu 1982-1985 yang dikenal dengan istilah Petrus atau penembakan misterius, sebagai sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Sebagai kepala negara, Presiden Joko Widodo menyesalkannya dan berjanji akan memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, di antaranya berupa kompensasi, rehabilitasi, dan beasiswa kepada keluarga korban.

Keluarga Kentus mengaku belum mendengar rencana pemerintah yang ingin memulihkan hak-hak para korban. Perwakilan dari pemerintah pun belum ada yang datang untuk mendata terkait peristiwa yang dialami Kentus.

"Cuma Pak Stanley yang pernah datang ke sini," kata Bu Nuk.

Baca juga: Korban Penembakan Misterius di Pasteur Bandung Mulai Siuman

Yang dimaksud Bu Nuk adalah mantan Komisioner Komnas HAM yang menjadi Ketua Tim Adhoc Penyelidik Pelanggaran HAM dalam kasus Penembakan Misterius (Petrus), Stanley Adi Prasetyo.

Bu Nuk tak berharap banyak. Dia sudah kenyang dengan janji-janji, dan kini dia harapkan bukti pemerintah merealisasikannya. Baginya, tak perlu rehabilitasi nama baik, karena suaminya bukanlah gali.

"Tidak perlu [rehabilitasi]. Temannya sudah pada tahu sifatnya bapak," kata Bu Nuk.

Yang harus dilakukan pemerintah, lanjut Bu Nuk, adalah pengakuan bahwa mereka tidak bersalah dan berani mengungkap kasus Petrus ke publik.

Apa sebenarnya yang melatarbelakangi peristiwa tersebut, dan mengapa suaminya menjadi korban, pintanya.

"Enggak cukup kalau cuma kata maaf atau pengakuan. Enggak cukup. Kita korban," ujar Bu Nuk dan terlihat matanya berkaca-kaca.

Baca juga: Diduga Kelompok Klitih,3 Pemuda Babak Belur Dihajar Warga di Kartasura Sukoharjo

Dia ingin kasus yang telah dialami suaminya diungkap tuntas kepada publik sehingga tidak menimbulkan kebingungan sejarah di kemudian hari.

Daripada rehabilitasi, Bu Nuk malah lebih berharap pemerintah memperhatikan kesejahteraan hidup pada korban, seperti dirinya. Pemberian modal usaha, dipandang lebih bermanfaat untuknya dan keluarga.

"Modal usaha untuk kelanjutan hidup, alangkah bermanfaatnya bagi kami," ujarnya, pelan.

Dia pun memperlihatkan etalase katering yang ada di pojok depan rumahnya. Katanya, dulu dia jualan katering. Tapi berhenti semenjak pandemi karena kehabisan modal.

"Itu nanti bisa jualan katering lagi dan jual sembako," imbuhnya.

Di usianya yang sekarang sudah 64 tahun, Bu Nuk juga berharap selalu sehat, dan sakit katarak yang dideritanya bisa segera sembuh.

"Saya sehari bisa jatuh tiga kali," kata Bu Nuk yang belum bisa operasi katarak karena tidak punya uang.

Baca juga: Laporan Tahunan Komnas HAM, Demokrasi Indonesia Alami Kemunduran di Era Jokowi

"Kalau mau bangun tidur panggil anak. Enggak bisa bangun sendiri. Itu susahnya," imbuh Bu Nuk sambil memegang tangan Titi, anak ragilnya yang hampir saban hari selalu menemani.

Titi sendiri tak begitu mempersoalkan dan tak mau mengulik lagi kasus yang dialami ayahnya.

Kalaupun pemerintah mau minta maaf, dia sudah memaafkan. Lagi pula, ayahnya sudah meninggal. Yang terpenting baginya, ibunya sehat dan bahagia. Tidak sedih lagi.

"Kami tidak berharap banyak, cukup perhatikan kesejahteraan para korban," kata Titi sambil memperlihatkan foto sosok ayahnya.

Sampai awal April 2023, janji pemerintah untuk memulihkan korban dan keluarga pelanggaran HAM berat di masa lalu — termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985 — belum menemukan bentuk kongkretnya.

Para pegiat HAM mengatakan, luasnya dimensi dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, membuat setiap korban memiliki situasi dan kebutuhan berbeda.

Baca juga: Laptah Komnas HAM, Kasus Sambo dan Kanjuruhan Perlihatkan Kegagalan Reformasi Kepolisian

Di sinilah, janji pemulihan terhadap korban dan keluarganya, tidak bisa disamakan.

Wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, melakukan liputan ini dan menuliskannya untuk BBC News Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Luncurkan Indonesia Heritage Agency, Nadiem: Jadikan Museum dan Cagar Budaya Tujuan Wisata Edukasi

Luncurkan Indonesia Heritage Agency, Nadiem: Jadikan Museum dan Cagar Budaya Tujuan Wisata Edukasi

Yogyakarta
Dipecat dan Tak Diberi Uang Layak, Pria di Kulon Progo Curi Rp 35 Juta Uang Kantor

Dipecat dan Tak Diberi Uang Layak, Pria di Kulon Progo Curi Rp 35 Juta Uang Kantor

Yogyakarta
Sleman Masih Kekurangan Ribuan Hewan Kurban untuk Idul Adha

Sleman Masih Kekurangan Ribuan Hewan Kurban untuk Idul Adha

Yogyakarta
Keluarga Jadi Korban Keracunan Massal di Gunungkidul, Adrian: Makan Mi dan Daging

Keluarga Jadi Korban Keracunan Massal di Gunungkidul, Adrian: Makan Mi dan Daging

Yogyakarta
Optimalisasi Pembenahan Museum dan Cagar Budaya Melalui Indonesia Heritage Agency

Optimalisasi Pembenahan Museum dan Cagar Budaya Melalui Indonesia Heritage Agency

Yogyakarta
Diare Massal di Gunungkidul, 89 Warga Diduga Keracunan Makanan di Acara 1.000 Hari Orang Meninggal

Diare Massal di Gunungkidul, 89 Warga Diduga Keracunan Makanan di Acara 1.000 Hari Orang Meninggal

Yogyakarta
Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Siapkan Layanan Wisata Malam, Ini Jadwal dan Perinciannya...

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Siapkan Layanan Wisata Malam, Ini Jadwal dan Perinciannya...

Yogyakarta
Pelajar di Sleman Dipukuli Saat Berangkat Sekolah, Polisi Sebut Pelaku Sudah Ditangkap

Pelajar di Sleman Dipukuli Saat Berangkat Sekolah, Polisi Sebut Pelaku Sudah Ditangkap

Yogyakarta
Wacana Pembongkaran Separator di Ring Road Yogyakarta Batal, Ini Alasannya

Wacana Pembongkaran Separator di Ring Road Yogyakarta Batal, Ini Alasannya

Yogyakarta
Mengenal Apa Itu Indonesia Heritage Agency yang Akan Diluncurkan Nadiem Makarim di Yogyakarta

Mengenal Apa Itu Indonesia Heritage Agency yang Akan Diluncurkan Nadiem Makarim di Yogyakarta

Yogyakarta
Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini Kamis 16 Mei 2024, dan Besok : Cerah Berawan Sepanjang Hari

Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini Kamis 16 Mei 2024, dan Besok : Cerah Berawan Sepanjang Hari

Yogyakarta
Prakiraan Cuaca Solo Hari Ini Kamis 16 Mei 2024, dan Besok : Cerah Berawan Sepanjang Hari

Prakiraan Cuaca Solo Hari Ini Kamis 16 Mei 2024, dan Besok : Cerah Berawan Sepanjang Hari

Yogyakarta
Seorang Pemuda Kuras Tabungan Pensiunan Guru Senilai Rp 74,7 Juta, Modusnya Pura-pura Jadi Pegawai Bank

Seorang Pemuda Kuras Tabungan Pensiunan Guru Senilai Rp 74,7 Juta, Modusnya Pura-pura Jadi Pegawai Bank

Yogyakarta
Penyu Lekang Ditemukan Mati di Bantul, Diduga akibat Makan Sampah Plastik

Penyu Lekang Ditemukan Mati di Bantul, Diduga akibat Makan Sampah Plastik

Yogyakarta
Buang Sampah Sembarangan, Warga Sleman Didenda Rp 1 Juta

Buang Sampah Sembarangan, Warga Sleman Didenda Rp 1 Juta

Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com