KOMPAS.com - Alun-alun Selatan atau Alun-alun Kidul adalah sebuah landmark berupa tanah lapang yang tidak bisa dipisahkan dengan Keraton Yogyakarta.
Masyarakat Yogyakarta kerap menyebut Alun-alun Selatan dengan nama Alkid yang merupakan singkatan dari Alun-alun Kidul.
Baca juga: Alun-alun Utara Yogyakarta: Sejarah, Fungsi, dan Makna Lautan Pasir
Sementara di lingkungan Keraton Yogyakarta, Alun-alun Selatan juga dikenal dengan nama Alun-alun Pengkeran (Alun-Alun Belakang).
Sesuai namanya, lokasi Alun-alun Selatan berada di sebelah selatan atau sisi belakang dari Keraton Yogyakarta dan berada i dalam kawasan beteng.
Keberadaan Alun-alun Selatan juga berada pada sumbu filosofis yang ditarik lurus antara Tugu Golong Gilig hingga Panggung Krapyak.
Baca juga: Benteng Baluwerti, Saksi Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta
Sementara dilansir dari laman kratonjogja.id, Alun-alun Selatan yang diselimuti pasir ini memiliki ukuran 150 m x 150 m.
Terdapt tembok di sekeliling Alun-alun Selatan Yogyakarta yang memiliki lima bukaan sebagai jalan keluar masuk.
Kelima jalan tersebut adalah Jalan Langenastran Kidul, Jalan Langenastran Lor, Jalan Ngadisuryan, Jalan Patehan Lor, dan Jalan Gading yang masing-masing melambangkan kelima indera manusia.
Adapun di sisi sebelah barat atau di dekat Jalan Ngadisuryan, terdapat sebuah kandang gajah milik keraton.
Baca juga: 5 Fakta Plengkung Gading dan Alasan Mengapa Sultan Yogyakarta Dilarang Melintas
Salah satu ciri khas dari Alun-alun Selatan Yogyakarta adalah keberadaan dua buah pohon beringin yang dinamakan supit urang dan diberi pagar keliling sehingga juga dikenal sebagai Ringin Kurung.
Pagar kedua pohon beringin berupa jeruji dengan gambaran busur dan anak panah sebagai lambang bahwa gadis atau jejaka yang sudah dewasa, akil balik, sudah berani melepaskan isi hati kepada lawan jenisnya.
Sedang di bagian pinggirnya terdapat pohon pakel (mangga) dan pohon kweni, sebagai perlambang kedewasaan (akil baligh) dan keberanian (wani).
Dilansir dari laman Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DI Yogyakarta, alun-alun Selatan dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada masa pemerintahannya sekitar tahun 1755 M-1792 M.
Pada masa lalu, alun-alun ini dikelilingi pagar tembok batu bata setinggi 2,20 m dan tebal pagar tembok 30 cm.
Karena tembok lama telah banyak yang runtuh dan rusak, saat ini yang berdiri adalah tembok baru yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono ke VII pada masa pemerintahannya tahun 1877 -1921 M.
Alun-alun Selatan yang juga disebut sebagai Alun-alun Pengkeran dahulu dikenal sangat sepi, menakutkan, dan angker hingga tidak ada orang yang berani melewati tempat itu.
Hanya pada malam terang bulan, anak dan remaja di sekitar Alun-alun Selatan akan bermain tetabuhan tradisional atau memanjat pohon beringin kembar.
Baru pada sekitar tahun 1980-an dibangunlah jalan lingkar dan lampu-lampu penerang jalan di sekitar Alun-alun Selatan.
Alun-alun Selatan Yogyakarta diketahui telah mengalami pergeseran fungsi dari waktu ke waktu.
Pada masa lalu, fungsi utamanya adalah sebagai tempat berlatih para prajurit kraton, serta sebagai tempat pemeriksaan pasukan menjelang upacara Garebeg.
Raja akan menyaksikan gladhen (latihan) para prajurit dari Palenggahan Dalem Gilang yang terletak di Tratag Rambat atau di depan Siti Hinggil.
Alun-alun Selatan juga sempat digunakan untuk tempat menghadap bagi abdi dalem Wadana Prajurit dalam tradisi di bulan Puasa, yaitu pada malam 23, 25, 27, dan 29 bulan Ramadhan.
Selain itu, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, setiap hari Senin dan Kamis siang, di Alun-alun Selatan Yogyakarta diadakan pertandingan panahan, adu harimau melawan kerbau, serta hiburan berupa prajurit rampogan menangkap harimau.
Saai ini Alun-alun Selatan Yogyakarta berubah menjadi ruang publik sekaligus tempat wisata yang sangat menarik dengan adanya berbagai penjaja kuliner, permainan, dan hiburan lainnya.
Masangin adalah suatu tradisi yang menjadi daya tarik dan keunikan dari Alun-alun Selatan Yogyakarta dan kerap membuat wisatawan penasaran.
Tradisi Masangin yang terkait dengan mitos beringin kembar itu dilakukan dengan berjalan di antara dua beringin dengan mata tertutup.
Meskipun terdengar mudah, ternyata banyak orang gagal melakukannya meskipun telah mencoba berkali-kali.
Tradisi Masangin sudah ada sejak zaman dulu yang berawal dari tradisi topo bisu yang dilakukan setiap malam 1 suro.
Hal tersebut diyakini merupakan ritual untuk mencari berkah dan meminta perlindungan dari serangan musuh.
Selain itu, sebagai pusat latihan dan kegiatan para prajurit Keraton, maka para prajurit juga bias mengasah konsentrasi dengan berjalan di tengah antara dua beringin kembar.
Mitos beringin kembar di Alun-alun Selatan Yogyakarta juga semakin kuat dengan adanya kepercayaan bahwa di tengah pohon tersebut terdapat jimat tolak bala untuk mengusir musuh.
Konon, pada masa penjajahan ketika tentara koloni melewati tengah pohon, maka kekuatan mereka langsung hilang.
Dari sanalah muncul kepercayaan bahwa siapapun yang berhasil menyebrangi kedua beringin tersebut maka ia mampu menolak bala.
Sumber:
dpad.jogjaprov.go.id, kratonjogja.id, pariwisata.jogjakota.go.id
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.