Wahidin tidak lama menjadi asisten pengajar. Dia keluar dan memilih menjadi pegawai kesehatan di Yogyakarta.
Sebagai seorang dokter rakyat, Wahidin semakin dekat dengan masyarakat.
Dari kedekatan inilah Wahidin dapat menyimpulkan bahwa masalah rakyat adalah kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Sehingga, menurut Wahidin, jika bangsa ingin merdeka maka masalah-masalah tersebut harus dihilangkan.
Dari sini Wahidin mulai memberikan bantuan pendidikan kepada masyarakat di sekitarnya.
Dia juga mengutarakan gagasannya terkait masalah-masalah rakyat itu di surat kabar yang ada saat itu.
Bahkan pada tahun 1894, Wahidin mendirikan dan memimpin majalah berbahasa Jawa bernama Retno Dumilah.
Pada awal tahun 1900-an, Wahidin berniat untuk mendirikan lembaga yang bisa memberikan bantuan pendidikan.
Untuk keperluan itu, Wahidin melakukan perjalanan keliling Jawa untuk mencari donatur.
Meski tidak mudah, pada akhirnya Wahidin bisa menemukan donatur untuk lembaga yang digagasnya itu.
Lembaga itu bernama Badan Beasiswa Damoworo. Salah satu tokoh yang menyanggupi bantuan adalah Bupati Serang Akhmad Jayadiningrat.
Rupanya, perjuangan Wahidin Sudirohusodo itu menarik perhatian para juniornya di STOVIA.
Wahidin pada tahun 1907 memang pernah mengunjungi STOVIA dan bertemu dengan Sutomo, Suraji, dan beberapa mahasiswa lain.
Dari pertemuan itu, rupanya Sutomo dan Suraji sangat terkesan. Keduanya lantas merencanakan pendirian organisasi untuk berjuang demi rakyat.
Maka pada 20 Mei 1908, Sutomo, Suraji, dan Gunawan Mangunkusumo pun mendirikan Budi Utomo.