Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kiai Tunggul Wulung, Pusaka Keraton Yogyakarta yang Terbuat dari Kiswah Kabah

Kompas.com, 11 Januari 2022, 12:33 WIB
William Ciputra

Penulis

KOMPAS.com - Setiap kerajaan atau keraton di masa lalu selalu memiliki pusaka yang menjadi tanda kebesaran dari kerajaan tersebut. Pusaka bisa bermacam-macam, mulai dari senjata hingga panji-panji.

Pusaka juga dimiliki Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta. Salah satu pusaka keraton yang berdiri sejak tahun 1755 bernama Kiai Tunggul Wulung.

Sebagaimana dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Pemprov Yogyakarta, Kanjeng Kiai Tunggul Wulung merupakan pusaka Keraton Yogyakarta yang berbentuk panji atau bendera. Pusaka ini sudah ada sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Baca juga: Geger Sepehi, Penyerbuan Keraton Yogyakarta oleh Inggris

Terbuat dari Kiswah Kabah

Kata Wulung dalam nama Kiai Tunggul Wulung diambil dari warna panji yaitu biru tua kehitaman. Dalam bahasa Jawa, biru tua disebut juga dengan wulung.

Kiai Tunggul Wulung merupakan kain yang berasal dari potongan kiswah Kabah atau kain penutup Kabah. Sama seperti bendera pada umumnya, Kiai Tunggul Wulung juga berbentuk persegi panjang.

Selain warnanya yang birut tua kehitaman, bendera Kiai Tunggul Wulung juga memiliki dekorasi keemasan pada bagian tengah. Dekorasi itu bertuliskan Surat Al-Kautsar, Asmaul Husna, dan Kalimat Syahadat.

Umur potongan kiswah Kabah pada Kiai Tunggul Wulung ini dipercaya lebih tua daripada usia Keraton Yogyakarta sendiri. Potongan kiswah itu diyakini sudah ada sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga Kerajaan Mataram Islam.

Pada masa Sultan Agung, potongan kiswah Kabah itu diberi nama Kiai Slamet.

Pengibar Kiai Slamet sendiri berupa tombak yang bagian pucuknya berbentuk tanduk rusa, dan diberi nama Kiai Duda. Saat Kiai Slamet dikibarkan bersama Kiai Duda inilah yang disebut Kiai Tunggul Wulung.

Baca juga: Beksan Lawung Ageng, Tarian Pusaka Keraton Yogyakarta

Kirab Penolak Wabah

Suasana Keraton Yogyakarta saat mulai dikunjungi wisatawan, Kamis (28/10/2021)KOMPAS.COM/WISANG SETO PANGARIBOWO Suasana Keraton Yogyakarta saat mulai dikunjungi wisatawan, Kamis (28/10/2021)
Kanjeng Kiai Tunggul Wulung pernah dikirab keluar Keraton dan mengelilingi wilayah Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, yaitu tahun 1918.

Pusaka itu dikirab saat terjadi wabah penyakit flu Spanyol yang merenggut jutaan jiwa, termasuk di Pulau Jawa. Selain itu, pusaka ini juga pernah dikirab saat terjadi wabah pes tahun 1946 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Proses kirab Kanjeng Kiai Tunggul Wulung pada saat wabah pes 1946 dilakukan dalam senyap. Pusaka itu dibawa keluar Keraton saat senja, dan kembali lagi pada dini hari.

Proses kirab pusaka Kiai Tunggul Wulung dilakukan seraya memanjatkan doa. Selain itu, setiap melintasi perempatan jalan, pengiring pusaka akan melantunkan azan.

Melansir Kompas.id, Kiai Tunggul Wulung ternyata juga pernah dikirab keliling Yogyakarta pada tahun 1998, saat terjadi kerusuhan Mei. Namun proses kirab dilakukan dalam senyap sehingga tidak banyak orang tahu.

Kirab pusaka pada Mei 1998 itu dilakukan satu sebelum prosesi “pisowanan ageng”, yaitu pertemuan raja dengan seluruh rakyatnya. Kirab dilakukan dengan harapan agar prosesi tersebut berlangsung aman.

Baca juga: Bendera Pusaka Pernah Hilang, Ini Ceritanya

Benar saja, pada saat pisowanan ageng tanggal 20 Mei 1998, Sri Sultan Hamengku Buwana X menyampaikan pidato di hadapan rakyat dengan aman dan tentram.

Atas dasar itu, maka pada awal terjadi pandemi Covid-19, ada usulan agar Keraton Yogyakarta melakukan kirab Kiai Tunggul Wulung seperti yang pernah dilakukan saat wabah flu Spanyol dan pes di masa lalu.

Namun saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono X merasa pandemi Covid-19 yang melanda harus ditanggapi berbeda. Sri Sultan belum melihat adanya urgensi untuk melakukan kirab pusaka Kiai Tunggul Wulung.

Sumber:
Kompas.id 
Jogjaprov.go.id

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau