Salin Artikel

Kiai Tunggul Wulung, Pusaka Keraton Yogyakarta yang Terbuat dari Kiswah Kabah

Pusaka juga dimiliki Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta. Salah satu pusaka keraton yang berdiri sejak tahun 1755 bernama Kiai Tunggul Wulung.

Sebagaimana dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Pemprov Yogyakarta, Kanjeng Kiai Tunggul Wulung merupakan pusaka Keraton Yogyakarta yang berbentuk panji atau bendera. Pusaka ini sudah ada sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Terbuat dari Kiswah Kabah

Kata Wulung dalam nama Kiai Tunggul Wulung diambil dari warna panji yaitu biru tua kehitaman. Dalam bahasa Jawa, biru tua disebut juga dengan wulung.

Kiai Tunggul Wulung merupakan kain yang berasal dari potongan kiswah Kabah atau kain penutup Kabah. Sama seperti bendera pada umumnya, Kiai Tunggul Wulung juga berbentuk persegi panjang.

Selain warnanya yang birut tua kehitaman, bendera Kiai Tunggul Wulung juga memiliki dekorasi keemasan pada bagian tengah. Dekorasi itu bertuliskan Surat Al-Kautsar, Asmaul Husna, dan Kalimat Syahadat.

Umur potongan kiswah Kabah pada Kiai Tunggul Wulung ini dipercaya lebih tua daripada usia Keraton Yogyakarta sendiri. Potongan kiswah itu diyakini sudah ada sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga Kerajaan Mataram Islam.

Pada masa Sultan Agung, potongan kiswah Kabah itu diberi nama Kiai Slamet.

Pengibar Kiai Slamet sendiri berupa tombak yang bagian pucuknya berbentuk tanduk rusa, dan diberi nama Kiai Duda. Saat Kiai Slamet dikibarkan bersama Kiai Duda inilah yang disebut Kiai Tunggul Wulung.

Pusaka itu dikirab saat terjadi wabah penyakit flu Spanyol yang merenggut jutaan jiwa, termasuk di Pulau Jawa. Selain itu, pusaka ini juga pernah dikirab saat terjadi wabah pes tahun 1946 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Proses kirab Kanjeng Kiai Tunggul Wulung pada saat wabah pes 1946 dilakukan dalam senyap. Pusaka itu dibawa keluar Keraton saat senja, dan kembali lagi pada dini hari.

Proses kirab pusaka Kiai Tunggul Wulung dilakukan seraya memanjatkan doa. Selain itu, setiap melintasi perempatan jalan, pengiring pusaka akan melantunkan azan.

Melansir Kompas.id, Kiai Tunggul Wulung ternyata juga pernah dikirab keliling Yogyakarta pada tahun 1998, saat terjadi kerusuhan Mei. Namun proses kirab dilakukan dalam senyap sehingga tidak banyak orang tahu.

Kirab pusaka pada Mei 1998 itu dilakukan satu sebelum prosesi “pisowanan ageng”, yaitu pertemuan raja dengan seluruh rakyatnya. Kirab dilakukan dengan harapan agar prosesi tersebut berlangsung aman.

Benar saja, pada saat pisowanan ageng tanggal 20 Mei 1998, Sri Sultan Hamengku Buwana X menyampaikan pidato di hadapan rakyat dengan aman dan tentram.

Atas dasar itu, maka pada awal terjadi pandemi Covid-19, ada usulan agar Keraton Yogyakarta melakukan kirab Kiai Tunggul Wulung seperti yang pernah dilakukan saat wabah flu Spanyol dan pes di masa lalu.

Namun saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono X merasa pandemi Covid-19 yang melanda harus ditanggapi berbeda. Sri Sultan belum melihat adanya urgensi untuk melakukan kirab pusaka Kiai Tunggul Wulung.

Sumber:
Kompas.id 
Jogjaprov.go.id

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/01/11/123315678/kiai-tunggul-wulung-pusaka-keraton-yogyakarta-yang-terbuat-dari-kiswah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke