Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kampung Pitu, Hanya Dihuni 7 Keluarga sejak Dulu hingga Pantang Gelar Pertunjukan Wayang Kulit

Kompas.com, 26 Maret 2021, 06:08 WIB
Pythag Kurniati

Editor

KOMPAS.com - Sekilas kampung di Kalurahan Nglanggeran, Kapanewon Patuk, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu seperti kampung pada umumnya.

Namun, siapa sangka ada kepercayaan unik yang dipegang erat oleh masyarakat kampung di sekitar puncak Gunung Api Purba tersebut.

Sejak dahulu, kampung itu hanya ditinggali oleh tujuh keluarga.

Tak heran kampung itu pun dikenal dengan nama Kampung Pitu. Dalam bahasa Indonesia, pitu artinya tujuh.

Baca juga: Kampung Pitu, Desa di Gunungkidul yang Hanya Dihuni 7 Keluarga

Asal-usul berdirinya Kampung Pitu, dari kisah telaga dan kuda sembrani

Yatnorejo Saat Menunjukkan Lokasi yang dipercaya Tapak Kaki Kuda Sembarani di Sekitar Telaga Guyangan, Kampung Pitu, Nglanggeran, Patuk, Kamis (25/3/2021)KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO Yatnorejo Saat Menunjukkan Lokasi yang dipercaya Tapak Kaki Kuda Sembarani di Sekitar Telaga Guyangan, Kampung Pitu, Nglanggeran, Patuk, Kamis (25/3/2021)
Menurut salah satu sesepuh adat Kampung Pitu Yatnorejo, keberadaan Kampung Pitu berawal dari Telaga Guyangan yang tak jauh dari rumahnya.

Konon, area yang kini merupakan persawahan dengan mata air itu adalah sebuah telaga.

Telaga tersebut pernah digunakan untuk mencuci kuda semberani.

Cerita itu dipercaya secara turun-temurun. Bahkan warga meyakini, sisa tapak kaki kuda sembrani masih ada hingga saat ini.

Di sekitar Telaga Guyangan, sempat diadakan sayembara Keraton.

Sayembara itu berbunyi akan memberikan hadiah tanah bagi siapa pun yang mampu menjaga pohon pusaka bernama Kinah Gadung Wulung.

Ternyata hanya dua orang yakni kakak beradik Iro Dikromo dan Tirtosari yang bisa menjaganya.

Mereka dan anak cucunya diperkenankan tinggal di tempat itu.

Baca juga: Ibu dan Anak Kaget Diusir Satpam Hotel Saat Duduk di Pantai: Sejak Kecil Saya Main di Sini

Pemandangan Gunung Api Purba di Desa Wisata Nglanggeran, Yogyakarta (Shutterstock/Berta Alviyanto).Shutterstock/Berta Alviyanto Pemandangan Gunung Api Purba di Desa Wisata Nglanggeran, Yogyakarta (Shutterstock/Berta Alviyanto).
Hanya tujuh keluarga

Ada alasan mengapa kampung itu disebut dengan Kampung Pitu.

Sebab, hanya ada tujuh keluarga yang boleh tinggal di tempat tersebut.

Kata pitu berasal dari bahasa Jawa yang berarti tujuh.

"Meski memiliki banyak anak turun, tetapi setelah menikah hanya diperbolehkan tujuh kepala keluarga," tutur Yatnorejo.

Sebenarnya, kata dia, ada delapan rumah di kampung tersebut. Namun, hanya tujuh yang ditempati.

Kepercayaan hanya ditinggali tujuh keluarga ini terus dipegang erat oleh masyarakat setempat hingga kini.

"Dari generasi pertama sampai saat ini tidak ada penduduk dari luar daerah yang tinggal di sini. Selain itu, jika penduduk sudah menikah pun harus keluar," kata Yatnorejo.

Dia mengatakan, warga kampung itu mencari penghidupan dengan bertani dan beternak.

Baca juga: Fakta-fakta Baru Temuan Butiran Emas di Pantai, Warga Rela Alih Profesi, Orang Luar Tak Boleh Masuk

Pantangan selenggarakan pertunjukan wayang kulit

WayangShutterstock Wayang
Selain terkait jumlah keluarga yang harus menempati, ada kepercayaan lain yang terus diyakini hingga kini.

Warga Kampung Pitu pantang menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit.

Sebab, gunung di sekitar desa tersebut dinamakan gunung wayang.

Sehingga, warga kampung pitu memegang kepercayaan untuk tidak menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit.

Masyarakat di Kampung Pitu juga masih teguh dengan beberapa tradisi, misalnya dalam membangun rumah dan upacara-upacara.

"Mau mendirikan rumah pun harus sesuai perhitungan masyarakat Jawa pada umumnya, harus ada hari yang tepat. Selain itu ada kenduri," kata Yatnorejo.

Baca juga: Kami Menolak Kedatangan Orang Luar, apalagi Tujuannya Mencari Emas ke Desa Tamilow

Kawasan Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul, YogyakartaKOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA Kawasan Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta
Siapkan penerus untuk tinggal di Kampung Pitu

Yatnorejo, sebagai sesepuh desa, mengatakan, warga juga akan menyiapkan penerus untuk menempati Kampung Pitu.

Dia akan menunjuk satu anaknya untuk menemaninya tinggal di tempat tersebut.

Meski jauh dari pusat keramaian, hal itu tak menyurutkan minat generasi berikutnya untuk tinggal di sana.

Salah satunya Sarjono yang merupakan menantu Yatnorejo.

"Ingin tinggal di sini suatu saat nanti," akunya.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono | Editor : Teuku Muhammad Valdy Arief)

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Yogyakarta
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau