KULON PROGO, KOMPAS.com – Ratusan warga mengikuti upacara pengibaran bendera dalam rangka HUT ke delapan puluh Republik Indonesia di RT 01 RW 03, Dusun Terbah, Kalurahan Wates, Kapanewon Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Suasana upacara berlangsung hangat dan penuh kekeluargaan. Seluruh peserta mengenakan pakaian adat Jawa dan seluruh rangkaian acara disampaikan dalam bahasa Jawa.
“Mereka ingin menampilkan sesuatu yang berbeda sekaligus melestarikan budaya Jawa dalam momentum nasional,” kata Ketua Panitia Peringatan 17 Agustus, Surono, Sabtu (17/8/2025).
Surono menjelaskan, penggunaan bahasa dan pakaian adat Jawa menjadi bentuk semangat warga untuk nguri-uri atau melestarikan budaya Jawa. Meski persiapan dilakukan dalam waktu singkat, upacara dapat berjalan lancar.
Baca juga: Rumah Berumur Lebih 100 Tahun di Gorontalo Jadi Lokasi Upacara HUT ke-80 RI
Latihan hanya dilakukan beberapa kali, sebagian petugas bahkan belajar secara mandiri melalui tayangan YouTube atau dari pengalaman menyaksikan pasukan bergodo dalam acara adat di Yogyakarta.
“Saya sendiri sempat bingung saat harus memberi aba-aba seperti ‘siap grak’ dalam bahasa Jawa. Tapi kami jalankan semampunya. Ini bagian dari usaha melestarikan budaya,” ujarnya.
Sebagian besar peserta upacara merupakan ibu rumah tangga. Hal ini karena sebagian warga mengikuti upacara resmi yang digelar di alun-alun yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari lokasi.
“Yang hadir sekitar seratus lima puluh orang, sebagian besar ibu-ibu. Semangatnya luar biasa. Ada juga anggota Brimob yang sempat mendapat izin dinas untuk ikut kegiatan pagi ini,” kata Surono.
Baca juga: Upacara HUT Ke-80 RI dari Atas Rakit, Mengapung di Kali Progo Magelang...
Surono berharap kegiatan ini bisa menjadi tradisi tahunan sekaligus mengenalkan warisan budaya kepada generasi muda. “Tujuan utamanya agar budaya Jawa tidak hilang. Kami ingin membiasakan warga, terutama anak-anak, agar mengenal adat dan bahasa Jawa sejak dini,” tambahnya.
Warga menyambut positif kegiatan tersebut. Mariza menyebut upacara ini terasa lebih hangat dan penuh kebersamaan. “Ini pertama kalinya kami upacara pakai baju adat dan bahasa Jawa. Tapi rasanya lebih guyub dan hangat. Warga juga tidak diharuskan pakai seragam tertentu, yang penting tetap bernuansa Jawa,” ujarnya.
Warga sebelumnya telah diberi informasi untuk mengenakan surjan dan kebaya. Namun warga yang tidak memiliki masih diperbolehkan memakai batik atau pakaian lain yang sopan dan sesuai suasana.
“Intinya biar warga kompak dan semangatnya luar biasa,” tambah Marince.
Ia berharap kegiatan seperti ini bisa terus dilaksanakan setiap tahun karena dinilai mampu memperkuat kebersamaan dan identitas budaya masyarakat setempat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang