WONOSOBO, KOMPAS.com – Hidup penuh dengan keniscayaan dan ketidakpastian, dan tindakan manusialah yang menentukan arah perubahan, termasuk dalam mengelola sampah.
Di Jawa Tengah, gerakan mengubah sampah menjadi bahan bakar minyak kini tengah digalakkan sebagai bagian dari Revolusi Hijau. Upaya ini menjadi bentuk kepedulian terhadap lingkungan sekaligus solusi berkelanjutan atas permasalahan sampah.
Isu sampah masih menjadi bahasan yang tidak pernah selesai. Seperti komoditas, sampah kerap dikaitkan dengan aktivitas ekspor dan impor antardaerah.
Menumpuk, berpindah tempat, dan kadang ditolak di lokasi lain, sampah terus menjadi tantangan besar yang dihadapi berbagai wilayah, termasuk di Jawa Tengah.
Menyadari bahwa produksi sampah tidak akan pernah berhenti, sejumlah warga di Wonosobo dan Banjarnegara bergerak mengubah tantangan ini menjadi peluang.
Baca juga: Edukasi Pengelolaan Sampah Jadi Sorotan di Hari Bumi 2025
Di Desa Talunombo, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Wonosobo, warga mengembangkan pengolahan sampah menjadi bahan bakar minyak (BBM) melalui program Tempat Pembuangan Sampah, Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R).
Gerakan ini digagas oleh Badarudin dan para penggiat lingkungan lainnya. Mereka mengolah sampah plastik menjadi solar menggunakan mesin pirolisis.
"Program ini lahir dari kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, sekaligus upaya mencari solusi bahan bakar alternatif di tengah gas langka. Kami melihat sampah ini sebagai peluang," kata Badarudin saat ditemui Kompas.com, Sabtu (19/4/2025).
Setiap 50 kilogram sampah plastik diolah menjadi 40–45 liter solar. Prosesnya menggunakan mesin pirolisis bersuhu 300 derajat Celsius selama 12 jam. Selain plastik, mesin ini juga mampu mengolah limbah minyak goreng bekas (jelantah) dan oli bekas.
“Ide awalnya berangkat dari permasalahan sampah yang mengalir ke lahan pertanian. Melalui TPS 3R, kami menggandeng Badan Riset Inovasi Daerah (Brida) Provinsi Jawa Tengah untuk membuat mesin pirolisis di tahun 2022,” jelas Badarudin.
Baca juga: Mulanya Pekerja Pabrik Pupuk, lalu Jadi Pelopor Pertanian Sirkular di Karawang
Setelah mesin beroperasi optimal, Talunombo bahkan membeli sampah plastik dari daerah lain seharga Rp 500 per kilogram. Solar hasil produksi dijual seharga Rp 10.000 per liter dan digunakan untuk mengoperasikan mesin traktor.
Setiap produksi memerlukan biaya sekitar Rp 200.000 untuk kayu bakar, menghasilkan 40 liter solar senilai Rp 400.000. Artinya, warga masih memperoleh margin keuntungan Rp 200.000 per produksi.
"Kalau ditanya harapan, kami dari desa sudah bergerak. Tentu kami berharap ada dukungan dari semua pihak, apalagi ini kaitannya dengan kelestarian lingkungan yang juga menjadi fokus pemerintah pusat," ujar Badarudin.
Saat ini, 430 Kepala Keluarga (KK) dari total 725 KK di Desa Talunombo terlibat dalam program ini. Selain mengolah sampah plastik menjadi solar, residu dari pengolahan juga dimanfaatkan menjadi briket ramah lingkungan.
"Briket itu dibuat dari residu plastik, dicampur dengan tepung tapioka, lalu dicetak. Kelebihannya, briket ini tahan lama dan bisa mengatasi kebutuhan energi saat gas elpiji langka," jelas Badarudin.
Selain itu, sampah organik diolah menjadi pupuk kompos yang dijual Rp 18.000 per karung. Semua kegiatan ini dikelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang dibentuk oleh pemerintah desa.
Bahan baku plastik yang dibutuhkan mencapai 1,5 ton per bulan, menyebabkan Talunombo kini harus mengimpor sampah dari luar daerah. Program TPS 3R di desa ini juga mendapat pendampingan dari Brida Jawa Tengah dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Produk BBM dari Talunombo bahkan sudah mengantongi sertifikat kelayakan.
"Langkah yang kami ambil bertujuan menyadarkan masyarakat luas bahwa sampah ini adalah tanggung jawab bersama. Cukup memilah dan memilih sampah, selebihnya bisa diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat," tegas Badarudin.
Warga desa juga menyambut baik program ini. "Dulu baunya luar biasa menyengat. Tapi sejak ada teknologi ini, baunya hilang, air sumur juga tidak tercemar," kata Ahmad, warga Talunombo.
Hal senada disampaikan Budi Santoso, warga lain yang mendukung penuh program ini. "Kalau bisa diproduksi massal, lebih banyak warga akan merasakan manfaatnya," ujarnya.
Talunombo kini menjadi contoh desa yang berhasil mengelola sampah menjadi energi ramah lingkungan, menjadikan lingkungan lebih asri, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Semangat serupa juga berkembang di Desa Kasilib, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara. Sejak 2014, warga mendirikan bank sampah, namun penumpukan plastik menjadi masalah baru. Tahun 2017, sampah di bank ini mencapai 7 ton.
Untuk mengatasi masalah tersebut, warga mulai mengembangkan mesin pirolisis sejak 2018. Setelah berbagai kegagalan inovasi, mesin Pirolisis Gen 5 akhirnya berhasil dikembangkan pada 2021.
"Alhamdulillah, mesin Gen 5 sudah sangat efektif. Tahun 2022, kami dikenalkan ke BRIN, dan setelah diuji, hasilnya memenuhi standar nasional," ungkap Toha, pengelola bank sampah Desa Kasilib.
BBM dari pirolisis mereka memiliki cetane number 54,2 dan cetane index 65, melebihi standar nasional. Setiap 250 kilogram plastik dapat menghasilkan 70–80 persen solar, tergantung kualitas sampah.
Saat ini, Desa Kasilib mengoperasikan empat mesin pirolisis dengan kapasitas 50 hingga 100 kilogram per hari. Harga beli sampah plastik di desa ini Rp 1.200 per kilogram.
Founder Bank Sampah Kasilib, Budi Tresno Aji, menambahkan, mesin Pirolisis Gen 5 buatan mereka juga telah dipasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia. “Untuk kapasitas 30 kilogram per hari, harganya Rp 65 juta. Kapasitas 50 kilogram, Rp 95 juta,” jelasnya.
Budi berharap, setiap kecamatan bisa menggunakan mesin ini untuk menyelesaikan masalah sampah dari hulu.
"Harapan kami, sampah nonorganik yang sulit terurai bisa selesai di tingkat kecamatan tanpa harus dibuang ke hilir," tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang