Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemkab Bantul Targetkan Gumuk Pasir Steril dalam 5 Tahun

Kompas.com, 25 Juli 2024, 16:05 WIB
Markus Yuwono,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, akan mengembalikan kawasan gumuk pasir seperti tahun 1976, bersih dari apapun.

Selain itu, pada 1976 luas gumuk pasir 417 hektar, kini tinggal 14 sampai 17 hektar.

Tahap awal sterilisasi gumuk pasir ditargetkan selesai dalam waktu sekitar lima tahun.

Baca juga: Upaya Menjaga Gumuk Pasir Barchan yang Hanya Ada 2 di Dunia, Parangtritis dan Meksiko

"Pemkab Bantul menargetkan lima tahun ke depan, khusus di zona inti gumuk pasir bisa steril dari aktivitas," kata Sekda Kabupaten Bantul, Agus Budi Raharja kepada wartawan di Bantul, Kamis (25/7/2024).

Dijelaskannya pihaknya sudah menyusun road map tentang rencana restorasi gumuk pasir.

Untuk mencapai seperti tahun 1976 memang memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam lima tahun ke depan, pihaknya akan melakukan penataan wisata jeep, wahana permainan, dan pedagang.

Pemkab Bantul juga akan melakukan evaluasi dan monitoring lanjutan. Terkait perekonomian masyarakat yang berada di sana, pemerintah akan melibatkan alam restorasi gumuk itu.

"Saat restorasi gumuk pasir Parangtritis selesai, mereka akan diikutkan agar perekonomiannya terdampak," ucap Agus.

Agus menyebut anggaran restorasi sudah ada dalam APBD perubahan 2024 kabupaten Bantul. Namun dirinya tidak hafal besaran anggaran yang disiapkan.

"Kami tetap dialokasikan setiap tahapan yang ada," ucap dia.

Sebelumnya, General Manager Badan Pengelola Geopark Yogya Dihin Nabrijanto mengatakan, gumuk pasir di daerah Parangtritis, Kabupaten Bantul merupakan salah satu bentang alam yang istimewa.

Sebab, gumuk pasir di Parangtritis, bertipe Barchan. Gumuk pasir tipe Barchan ini hanya ada dua di Dunia, Mexico dan Bantul.

"Gumuk pasir yang ada di Parangtritis ini gumuk pasir yang paling istimewa," kata Dihin di Sleman.

Dijelaskannya sumber utama material gumuk pasir Parangtritis berasal dari Gunung Merapi yang terbawa air sungai. Kondisi saat ini suplai pasir dari Gunung Merapi yang terbawa air sungai sudah mulai berkurang.

Sehingga mempengaruhi pembentukan gumuk pasir Parangtritis. Dahulu tinggi gumuk pasir Parangtritis bisa mencapai 30 meter, tapi saat ini sudah berkurang.

"Dahulu gumuk pasir itu tingginya bisa sampai 30 meter dan salah satu fungsinya adalah abrasi pantai, kemudian menahan tsunami. Kalau sekarang nggak bisa, karena materialnya nggak cukup untuk membentuk gumuk," ucap dia.

Baca juga: Ekosistem Gumuk Pasir: Fungsi dan Faktor Pembentuknya

Dihin mengatakan, pentingnya menjaga lingkungan alam di Gunung Merapi. Sehingga material pasir tetap ada dan air sungai terus mengalir membawa suplai material untuk gumuk pasir.

Dia menyebut luasan gumuk pasir Parangtritis juga mengalami penyusutan. Dari data yang dimiliki, pada tahun 1976 luas gumuk pasir Parangtritis mencapai sekitar 417 hektar.

"Setiap tahun kan kita potret, itu berkurang hingga hari ini (luasanya) tinggal sekitar 14 sampai 17 hektar, jadi 400 hektar hilang," ujarnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau