YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan, kenaikan bea masuk 200 persen untuk produk-produk impor tidak serta merta diterapkan begitu saja.
Menurut Zulhas, sapaannya, ada kriteria tertentu untuk menentukan sebuah produk dikenakan bea impor 200 persen.
Baca juga: Ada Wacana Impor dari China Dikenakan Tarif 200 Persen, Luhut Turun Tangan
"Kalau barang-barang impor itu tiga tahun berturut-turut sehingga melonjak luar biasa, sehingga menghancurkan industri kita, itu boleh (dikenakan pajak 200 persen), siapa saja boleh tidak hanya di Indonesia," kata Zulhas di Yogyakarta, Sabtu (6/7/2024).
Baca juga: Barang Impor dari China Bakal Kena Bea Masuk 200 Persen, Ini Respons Kadin
"Di manapun negara bisa melakukan tindakan pengamanan. Bisa juga mengenakan bea masuk anti dumping atau bea masuk tidakan pengamanan," jelas dia.
Zulhas mengatakan, Komite Perlindungan Perdagangan Indonesia (KPPI) bakal bertugas menentukan besaran bea masuk anti dumping pada produk-produk impor.
"Makanya sekarang ada KPPI lagi melihat data-data dari asosiai apakah yang tujuh macam barang pokok konsumen seperti tekstil, beuty, elektronik, keramik, itu impornya melonjak enggak tiga tahun terakhir," jelas dia.
Jika dari tujuh jenis ada lonjakan, maka bisa dikenakan bea masuk tindakan pengamanan.
Selain itu, ada juga Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang bakal memonitor barang apa saja yang melonjak impornya selama tiga tahun.
"Satu lagi KADI sama kalau dilihat nanti melonjak impornya, mematikan usaha dalam negeri, bisa dikenakan bea masuk anti dumping. Besarnya berapa, mereka yang hitung, ada prosedurnya, ada tata caranya," kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Haryanto Pratantara merespons, soal rencana pemerintah memberlakukan pengenaan bea masuk impor sebesar 200 persen.
Haryanto mengatakan, kebijakan tersebut tidak tepat sasaran lantaran akan membuat arus barang impor ilegal semakin masif.
Hal ini, kata dia, akan mengganggu kinerja asosiasi ritel modern yang menyerap produk lokal dan global secara legal.
"Solusi ini tidak tepat sasaran karena yang namanya (arus barang impor) ilegal tidak lapor, tidak kena regulasi. Jadi yang kena adalah siapa? Yang legal importir, mereka sebenarnya bayar pajak PPN, WPH, bea masuk," kata Haryanto dalam Konferensi Pers bertajuk "Impor Ilegal Berjaya, Impor Resmi Dipersulit" di Jakarta, Jumat (5/7/2024).
"Terus kemudian juga mereka rata-rata punya toko offline, di mana retail ini kan menyerap tenaga kerja sangat besar. Jadi solusinya tidak tepat sasaran apabila itu yang dilakukan," sambungnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang