Warga bekerja mandiri. Uang dipakai untuk memelihara kawasan dan pengembangan spot Instagramable. Tidak ada bantuan pemerintah ketika itu.
MJAA dulu sangat berbeda dari sekarang.
Saat ini, sebagian besar jembatan rusak tidak terawat. Belasan spot foto bahkan sudah tidak ada. Perlu modal besar kembali seperti semula.
“Kalau (perbaikan memerlukan dana) Rp 500 juta, masuk,” katanya.
MJAA sekarang sepi pasca-pandemi. Kawasan yang mengandalkan pemasukan dari tiket malah tidak ada pengunjung sama sekali. Akibatnya, semua terbengkalai dan tidak terawat.
Kalau pun sekarang masih ada beberapa pengunjung, hasil dari itu pun hanya untuk mempertahankan jembatan agar tidak ambruk.
“Sekarang kita mencari Rp 2 juta tidak bisa. Nangis. Padahal harus membayar listrik dsb,” kata Suprianto.
Belum lagi karyawan tinggal satu. Perahu wisata yang tadinya empat unit, sekarang juga tinggal satu. Sebagian besar anggota kelompok memilih kembali bekerja ke tambak-tambak.
Suprianto menceritakan, butuh uluran tangan bila ingin menghidupkan lagi MJAA. Potensi pariwisata di sini sangat besar. Terlebih, mangrove sudah tumbuh subur sejak ditanam pada 1996.
Warga sadar wisata membangun obyek wisata pada 2016. Tempo dua tahun, pengunjungnya membludak.
Dua obyek wisata serupa juga tumbuh di kanan kiri.
“(Sekarang) kita berusaha mengembangkan tempat kita dengan cara sendiri-sendiri,” kata Suprianto.
Rombongan pengunjung tampak sedang jalan-jalan ke MJAA, sore ini. Mereka mengaku prihatin kondisi sekarang obyek wisata tersebut.
Marija, mantan ASN di dinas PU di Jawa Tengah, melihat sarana prasarana yang rusak berat.
“Ini bisa dimaklumi karena tidak ada pemasukan. Perbaikannya berat,” kata Marija yang juga tokoh masyarakat dari kecamatan Panjatan. Ia kebetulan main ke sana bersama rombongannya.
Baca juga: 20.000 Kendaraan Masuk Kawasan Lembang, Objek Wisata Diminta Siapkan Kantung Parkir Memadai