Kemudian, seiring berjalannya waktu, mulai dilakukan usaha pemisahan ruangan penghuni sesuai kategori dengan batas fisik yang berupa tembok-tembok pemisah.
Karena sebagian besar dari para pekerja paksa bekerja di dalam lingkungan tembok bangunan, maka di didirikan pula tempat-tempat pekerjaan yang besar.
Hal ini bertujuan untuk dapat memberi pekerjaan yang beraneka ragam terhadap semua orang hukuman yang ada di dalam penjara pusat.
Nyatanya, orang hukuman masih sering melakukan pekerjaan di luar tembok penampung, meski pada periode itu orang-orang hukuman seharusnya bekerja di dalam tembok penampung.
Pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WVS) di tahun 1918 dan Gestechten Reglement pada tahun 1917 membuat sistem penjara pusat diganti dengan penjara-penjara pelaksana hukuman.
Perubahan sistem ini terjadi di bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia Belanda, Hijmans.
Pada nota yang ditujukan kepada Direktur Justisie tertanggal 10 September 1921, Hijmans melihat bahwa orang-orang hukuman dalam penjara-penjara pusat sangat sulit melakukan perbaikan moral.
Hal ini disebabkan oleh tidak dilakukannya pengklasifikasian terhadap orang hukuman.
Hijmans kemudian berpendapat bahwa dalam usaha memperbaiki moral orang hukuman perlu diadakan pengklasifikasian.
Untuk mendukung pelaksanaan tersebut, maka didirikanlah tempat-tempat penampungan tersendiri bagi orang tahanan yang belum terpidana yang disebut Huizen van Bewaring.
Huizen van Bewaring ini dibangun di Jakarta, Surabaya, Martapura (Palembang), Tabanan, Klungkung (Bali), Sekayu (Palembang), dan Balige (Tapanuli).
Dilakukan pula pengklasifikasian antara orang hukuman anak-anak dan wanita, seperti penjara anak-anak Madiun, penjara anak-anak Tangerang, serta penjara wanita Tangerang.
Dengan demikian sistem pelaksanaan hukuman mulai terlaksana pada tahun 1921 dan terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1942.
Pada masa pendudukan Jepang, sistem kepenjaraan Indonesia memasuki masa kelam karena sistem penjara pada periode tersebut sama halnya dengan zaman hukuman kerja paksa tahun 1872.
Setelah Indonesia merdeka, urusan kepenjaraan dipegang oleh Pemerintah Republik Indonesia.