Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lapas Wirogunan, Penjara Peninggalan Belanda yang Dibangun Pada 1917

Kompas.com, 21 Desember 2023, 23:00 WIB
Puspasari Setyaningrum

Editor

KOMPAS.com - Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan atau yang dikenal sebagai Lapas Wirogunan atau Lapas Jogja adalah salah satu bangunan cagar budaya peninggalan pemerintah kolonial Belanda di Yogyakarta.

Bangunan Lapas Wirogunan ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Per.Men Budpar RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011.

Baca juga: Kamar Sel Bersebelahan, Angelina Sondakh Akui Tak Tahu Kasus Jessica Wongso Heboh di Luar Lapas

Saat ini, lokasi Lapas Wirogunan berada di Jalan Tamansiswa No.6, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta.

Saat ini Lapas Wirogunan berstatus sebagai Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A yang berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Tidak hanya sebagai rumah tahanan, Lapas Wirogunan juga merekam sejarah kepenjaraan pada masa pemerintah kolonial Belanda, terutama di wilayah Yogyakarta.

Baca juga: Tenggak Miras Oplosan, 2 Napi Kasus Narkoba Tewas di Lapas Serang

Sejarah Lapas Wirogunan Yogyakarta

Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta semula bernama Gevangenis En Huis Van Bewaring (Penjara dan Rumah Tahanan).

Lapas ini adalah salah satu penjara pusat yang dibangun pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1917.

Baca juga: 23 Napiter Dipindah dari Rutan Cikeas ke 7 Lapas di Jatim

Penjara ini dibangun atas dasar Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang-orang pribumi di Hindia Belanda).

Dikutip dari laman Kemendikbud, kitab tersebut resmi berlaku sejak 1 Januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonansi pada 6 Mei 1872.

Dikutip dari laman resmi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta, hingga saat ini Lapas Wirogunan Yogyakarta telah mengalami enam kali perubahan nama, yaitu :

1. Gevangenis En Huis Van Bewaring (Zaman Kolonial Belanda)
2. Pendjara Djokjakarta
3. Kependjaraan Daerah Istimewa Djogjakarta
4. Kantor Direktorat Bina Tuna Warga
5. Lembaga Pemasyarakatan Klas I Yogyakarta
6. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta

Bagian Bangunan Lapas Wirogunan Yogyakarta

Dahulu bangunan Lapas Wirogunan berfungsi sebagai barak-barak kerja yang diperuntukkan bagi para tahanan.

Para tahanan yang ada di dalam lapas akan dikenakan hukuman kerja, seperti penyamakan kulit, pembuatan sepatu, maupun berbagai bentuk kerja paksa lainnya.

Saat ini Lapas Wirogunan berdiri di lahan dengan luas area lebih kurang 3,8 hektar.

Sebelum direnovasi, kompleks Lapas Wirogunan terdiri dari tiga bagian bangunan utama, yaitu kantor petugas, enam blok sel untuk laki-laki dan satu blok sel untuk perempuan.

Namun sejak dibentuk Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIB Yogyakarta pada tahun 2016, seluruh sel di Lapas Yogyakarta diperuntukkan untuk narapidana laki-laki.

Di dalam area lapas juga terdapat berbagai fasilitas pendukung seperti Klinik Pratama Lapas Yogyakarta dengan tiga kamar termasuk kamar bagi kelompok rentan.

Ada pula fasilitas lain seperti dapur, gedung aula, gedung kesenian, masjid, gereja, dan gedung bimbingan kerja (bimker).

Sejarah Kepenjaraan di Indonesia

Dikutip dari laman Kemendikbud, berikut adalah sejarah kepenjaraan mulai dari masa pemerintah kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka.

Diketahui sebelum tahun 1872, peraturan yang diberlakukan dalam pemberian hukuman kepada orang hukuman disesuaikan dengan peraturan adat-istiadat daerah setempat.

Kemudian pada tahun 1872, pemberian hukuman kepada orang hukuman masih berupa hukuman kerja, hukuman mati dan denda. Hal itu karena tidak ada hukuman penjara atau kurungan bagi orang Indonesia.

Orang hukuman hanya akan ditampung dalam Gestraften Kuartier, untuk kemudian pada pagi harinya digiring ke tempat-tempat pekerjaan yang berada di luar tembok penampungan.

Walau begitu, kondisi orang hukuman pada saat itu sangat menyedihkan karena kekurangan makanan, namun harus bekerja keras. Akibatnya banyak orang hukuman yang melarikan diri.

Baru pada tahun 1905, muncul kebijakan (policy) baru bagi orang-orang hukuman dengan dipekerjakan di dalam lingkungan tembok penampungan.

Untuk itu,maka tempat-tempat penampungan yang sudah didirikan di Batavia, Surabaya, Surakarta, Yogyakarta, Padang dan Makasar diubah menjadi penjara-penjara pusat.

Di samping itu, dibangun pula pusat-pusat penampungan wilayah baru seperti Cepiring, Madiun, Pekalongan dan Malang.

Dengan demikian sistem Gestraften Kuartier kemudian berubah menjadi Centraale Gevangenissen atau penjara-penjara pusat.

Pada awal berdiri, di dalam penjara-penjara pusat belum ada pemisahan antara orang hukuman dengan orang tahanan. Tidak ada pula pemisahan antara laki-laki dan perempuan, atau antara anak-anak dan orang dewasa.

Hal ini dimaksudkan untuk membuat rasa takut bagi orang hukuman dan orang tahanan yang tinggal di dalamnya.

Sebagai sebuah penjara pusat, di dalam temboknya terdapat berbagai bangunan segan ukuran besar yang memiliki kapasitas penampungan besar.

Kemudian, seiring berjalannya waktu, mulai dilakukan usaha pemisahan ruangan penghuni sesuai kategori dengan batas fisik yang berupa tembok-tembok pemisah.

Karena sebagian besar dari para pekerja paksa bekerja di dalam lingkungan tembok bangunan, maka di didirikan pula tempat-tempat pekerjaan yang besar.

Hal ini bertujuan untuk dapat memberi pekerjaan yang beraneka ragam terhadap semua orang hukuman yang ada di dalam penjara pusat.

Nyatanya, orang hukuman masih sering melakukan pekerjaan di luar tembok penampung, meski pada periode itu orang-orang hukuman seharusnya bekerja di dalam tembok penampung.

Pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WVS) di tahun 1918 dan Gestechten Reglement pada tahun 1917 membuat sistem penjara pusat diganti dengan penjara-penjara pelaksana hukuman.

Perubahan sistem ini terjadi di bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia Belanda, Hijmans.

Pada nota yang ditujukan kepada Direktur Justisie tertanggal 10 September 1921, Hijmans melihat bahwa orang-orang hukuman dalam penjara-penjara pusat sangat sulit melakukan perbaikan moral.

Hal ini disebabkan oleh tidak dilakukannya pengklasifikasian terhadap orang hukuman.

Hijmans kemudian berpendapat bahwa dalam usaha memperbaiki moral orang hukuman perlu diadakan pengklasifikasian.

Untuk mendukung pelaksanaan tersebut, maka didirikanlah tempat-tempat penampungan tersendiri bagi orang tahanan yang belum terpidana yang disebut Huizen van Bewaring.

Huizen van Bewaring ini dibangun di Jakarta, Surabaya, Martapura (Palembang), Tabanan, Klungkung (Bali), Sekayu (Palembang), dan Balige (Tapanuli).

Dilakukan pula pengklasifikasian antara orang hukuman anak-anak dan wanita, seperti penjara anak-anak Madiun, penjara anak-anak Tangerang, serta penjara wanita Tangerang.

Dengan demikian sistem pelaksanaan hukuman mulai terlaksana pada tahun 1921 dan terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1942.

Pada masa pendudukan Jepang, sistem kepenjaraan Indonesia memasuki masa kelam karena sistem penjara pada periode tersebut sama halnya dengan zaman hukuman kerja paksa tahun 1872.

Setelah Indonesia merdeka, urusan kepenjaraan dipegang oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Sesuai surat edaran No. 6.8/588 tertanggal 10 Oktober 1945 yang dikeluarkan di Jakarta oleh Menteri Kehakiman RI, Prof Mr Soepomo, maka semua penjara telah dikuasai oleh RI dengan perintah-perintah yang berlaku akan diurus oleh Menteri Kehakiman RI atau Kepala Bagian Urusan Penjara, Mr Noto Soesanto.

Selanjutnya pada tanggal 26 Januari 1946, Kepala Bagian Urusan Penjara mengeluarkan surat edaran yang berisi petunjuk-petunjuk tentang kepenjaraan yang diurus oleh Negara Indonesia.

Dalam surat edaran itu disebutkan bahwa Reglement Penjara (Staatblad 1917 No. 78) dianggap masih berlaku, namun dalam pelaksanaannya dilengkapi juga surat-surat edaran dan keputusan dari Pemerintah RI.

Pada tanggal 27 April – 7 Mei 1964, konferensi dinas direktur-direktur penjara seluruh Indonesia diadakan di Lembang, Bandung.

Dalam amanatnya, Presiden RI pertama, Ir Soekarno merubah nama penjara menjadi pemasyarakatan, dan orang yang dipenjara yang sebelumnya disebut orang hukuman kemudian diubah menjadi narapidana (napi).

Sumber:
jogjacagar.jogjaprov.go.id  
kebudayaan.kemdikbud.go.id  
lapasjogja.kemenkumham.go.id   

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau