Pada tahun 1943, mereka berdua berjualan makanan terikan, sejenis makanan khas Jawa Tengah dengan kuah kental dengan lauk tempe atau daging yang dijajakan dengan pikulan tumbu.
Kemudian Mbah Karso memiliki ide untuk menambah minuman pada dagangannya, dan kemudian memodifikasi pikulan tumbu yang dibawanya.
Bagian depan kemudian digunakan untuk menaruh makanan, sementara bagian belakang digunakan untuk menempatkan ceret minuman.
Setelah itu, Mbah Karso juga turut mengajak warga desanya untuk turut berjualan dengan pikulan seperti yang ia lakukan.
Tak hanya sejarah kemunculannya, asal-usul nama angkringan juga menarik untuk ditelusuri.
Sebelum disebut dengan angkringan, cara berdagang Mbah Karso di Solo dikenal dengan sebutan hik.
Mengenai asal-usul istilah hik tersebut belum dapat dipastikan karena memiliki beragam versi.
"Ada yang menduga dari cara penjualnya menjajakannya dengan sahutan 'Hiyeek!'. Ada yang bilang pembelinya sendawa seperti itu. Versi lainnya saat penjual tersandung mengatakan 'hiyek!'. Jadi tidak pasti asal kata 'hik' itu," ungkap Suwarna.
Kepopuleran warung hik di Solo pada 1940-an akhirnya juga merambah ke Yogyakarta pada 1950-an. Saat masuk ke Yogyakarta itulah nama angkringan lahir.
Ada yang menyebut istilah angkringan didapatkan karena masyarakat yang datang biasanya makan sambil duduk methangkring atau mengangkat salah satu kakinya di bangku.
Ada juga yang menyebut bahwa istilah angkringan didapatkan dari kata angkrin yang berarti tempat jualan makanan keliling dengan pikulan berbentuk melengkung ke atas yang merujuk pada bentuk pikulan tumbu.
Kini kebanyakan angkringan tidak lagi berjualan menggunakan pikulan tumbu, namun menggunakan gerobak yang lebih mudah untuk dipindahkan.
Tak hanya perubahan bentuk tempat berjualan yang mulai berubah dari pikulan tumbu menjadi gerobak, menu yang disajikan juga bergeser.
Menu terikan yang dulu dijual Mbah Karso kini telah jarang ditemukan karena mulai tergeser oleh nasi kucing.
Namun makanan pelengkap terikan seperti makanannya seperti jadah (ketan) bakar, singkong, getuk, kacang, dan aneka sate sampai saat ini masih tetap bertahan dan selalu dicari.