Salin Artikel

Sejarah Angkringan, Ternyata Bukan Berasal dari Jogja atau Solo

KOMPAS.com - Angkringan merupakan salah satu destinasi wisata kuliner yang kerap diburu wisatawan.

Kedai makanan berbentuk gerobak yang khas dengan santapan nasi kucing ini memang terkenal menawarkan menu makanan dengan harga yang terjangkau.

Wisatawan yang tengah berlibur di Yogyakarta bisa menemukan deretan angkringan di sekitar Jalan Margo Utomo, mulai dari dari Tugu Pal Putih hingga pintu timur Stasiun Tugu.

Deretan angkringan tersebut selalu dipadati wisatawan pada akhir pekan dan hari libur karena dekat dengan penginapan dan atraksi wisata di pusat kota.

Sementara di Solo, bentuk angkringan dikenal dengan istilah wedangan atau hik (hidangan istimewa kampung).

Bentuk dan menu yang dijajakan juga serupa, dari wedang (minuman), nasi kucing, gorengan, serta sundukan (sate-satean).

Angkringan Berasal dari Desa Ngerangan, Klaten

Meski dikenal sebagai kedai makan yang menjadi ciri khas Yogyakarta dan Solo, ternyata angkringan tidak berasal dari kedua daerah tersebut.

Angkringan konon berasal dari sebuah desa yang bernama Desa Ngerangan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Bahkan pada tahun 2020, di desa ini didirikan Monumen Cikal Bakal Angkringan lengkap dengan pikulan tumbu sebagai simbolnya.

Sejarah Angkringan

Dilansir dari laman resmi Desa Ngerangan, sosok yang pertama membuka angkringan adalah Karso Dikromo alias Djukut dan Wiryo Jeman yang merupakan warga Dukuh Sawit, Desa Ngerangan.

Karso Dikromo pertama kali berjualan makanan dan minuman menggunakan pikulan tumbu di Kota Solo.

Dilansir dari laman Kompas.com (9/8/2021), Wijilan Gunadi dan Suwarna selaku founder ikon Desa Cikal Bakal Angkringan mengkonfirmasi hal tersebut.

Mbah Karso yang berasal dari Desa Ngerangan merantau ke Solo saat usianya 15 tahun pada sekitar tahun 1930-an.

"Alasannya karena ayahnya meninggal dunia, sebagai sulung dari empat bersaudara Mbah Karso merasa bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya," ungkap Suwarna kepada Kompas.com, Minggu (30/08/2020).

Sesampainya di Solo, Mbah Karso bertemu dengan Mbah Wiryo. Pertemuan tersebut merupakan awal dari sejarah angkringan.

Pada tahun 1943, mereka berdua berjualan makanan terikan, sejenis makanan khas Jawa Tengah dengan kuah kental dengan lauk tempe atau daging yang dijajakan dengan pikulan tumbu.

Kemudian Mbah Karso memiliki ide untuk menambah minuman pada dagangannya, dan kemudian memodifikasi pikulan tumbu yang dibawanya.

Bagian depan kemudian digunakan untuk menaruh makanan, sementara bagian belakang digunakan untuk menempatkan ceret minuman.

Setelah itu, Mbah Karso juga turut mengajak warga desanya untuk turut berjualan dengan pikulan seperti yang ia lakukan.

Dari Hik menjadi Angkringan

Tak hanya sejarah kemunculannya, asal-usul nama angkringan juga menarik untuk ditelusuri.

Sebelum disebut dengan angkringan, cara berdagang Mbah Karso di Solo dikenal dengan sebutan hik.

Mengenai asal-usul istilah hik tersebut belum dapat dipastikan karena memiliki beragam versi.

"Ada yang menduga dari cara penjualnya menjajakannya dengan sahutan 'Hiyeek!'. Ada yang bilang pembelinya sendawa seperti itu. Versi lainnya saat penjual tersandung mengatakan 'hiyek!'. Jadi tidak pasti asal kata 'hik' itu," ungkap Suwarna.

Kepopuleran warung hik di Solo pada 1940-an akhirnya juga merambah ke Yogyakarta pada 1950-an. Saat masuk ke Yogyakarta itulah nama angkringan lahir.

Ada yang menyebut istilah angkringan didapatkan karena masyarakat yang datang biasanya makan sambil duduk methangkring atau mengangkat salah satu kakinya di bangku.

Ada juga yang menyebut bahwa istilah angkringan didapatkan dari kata angkrin yang berarti tempat jualan makanan keliling dengan pikulan berbentuk melengkung ke atas yang merujuk pada bentuk pikulan tumbu.

Kini kebanyakan angkringan tidak lagi berjualan menggunakan pikulan tumbu, namun menggunakan gerobak yang lebih mudah untuk dipindahkan.

Menu Terikan Tergeser Nasi Kucing

Tak hanya perubahan bentuk tempat berjualan yang mulai berubah dari pikulan tumbu menjadi gerobak, menu yang disajikan juga bergeser.

Menu terikan yang dulu dijual Mbah Karso kini telah jarang ditemukan karena mulai tergeser oleh nasi kucing.

Namun makanan pelengkap terikan seperti makanannya seperti jadah (ketan) bakar, singkong, getuk, kacang, dan aneka sate sampai saat ini masih tetap bertahan dan selalu dicari.

Angkringan Kini Tersebar ke Seluruh Indonesia

Dilansir dari laman jatengprov.go.id, saat ini mayoritas warga Desa Ngerangan mayoritas menekuni usaha angkringan secara turun-temurun.

Angkringan yang dahulu dikenal sebagai warungnya rakyat kecil kini semakin berkembang dan dilirik masyarakat menengah ke atas.

Tak heran jika kemudian angkringan yang semula hanya ditemukan di daerah Solo dan Yogyakarta kini juga bisa ditemukan di daerah lain.

Tidak hanya di pulau Jawa, namun ada juga yang membuka bisnis angkringan di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.

Kini tak hanya warga Desa Ngerangan yang berjualan angkringan, namun warga yang memproduksi gerobak angkringan juga kebanjiran order.

Sumber:
 ngerangan.bayat.klatenkab.go.id  
 surakarta.go.id  
 jatengprov.go.id  
 kompas.com  (Penulis : Theresia Amadea, Editor : Yuharrani Aisyah)

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/08/29/182758278/sejarah-angkringan-ternyata-bukan-berasal-dari-jogja-atau-solo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke