KULON PROGO, KOMPAS.com - Langit tampak cerah di bong chino atau permakaman Tionghoa, yang terletak di Pedukuhan Tegallembut, Kalurahan Giripeni, Kapanewon Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta(DIY). Terik matahari pun terasa menyengat kulit.
Samiyem (60), seperti tidak terganggu oleh panas cuaca hari ini. Ia tetap menyabit semak dan memotong beberapa dahan di sana.
Perempuan lanjut usia tersebut menahan terik dengan mengenakan jaket lengan panjang yang warnanya sudah pudar. Ia juga memakai kupluk untuk menutupi rambutnya yang memutih.
Baca juga: Cerita Satu Keluarga Empat Agama di Kota Jambi Sambut Imlek, Buat Kue Kering hingga Siapkan Angpau
Samiyem sudah berada di tempat itu sejak pukul 08.00 WIB. Ia biasanya selesai pukul 10.00 WIB, lalu pulang ke rumah di seberang komplek pemakaman.
Tapi kali ini, Samiyem bekerja hingga mendekati pukul 11.00 WIB.
"Karena besok kan mau Imlek," kata Samiyem sambil bersungging senyum lebar memperlihatkan beberapa gigi seri yang tersisa, Kamis (19/1/2023).
Warga mengenalnya sebagai juru kunci. Ini merupakan pekerjaan sambilannya bersama sang suami. Suami Samiyem bekerja sebagai tukang bangunan. Sementara Samiyem mencari pakan ternak.
Saat di pemakaman, Samiyem menyabit rumput, menyapu, hingga mengepel beberapa bong atau pekuburan Tionghoa. Suaminya sesekali ikut membantu memperbaiki nisan yang rusak.
Selama ini, Samiyem jarang bertemu dengan keluarga pemilik kuburan, kecuali pada Imlek. Biasanya, pada momen Imlek, keluarga Tionghoa melakukan ziarah, sembahyang hingga berbagi dengan warga.
"Besok ada yang datang. Biasanya paling banyak lima keluarga, tapi pernah sampai tujuh keluarga," kata Samiyem.
Beberapa keluarga Tionghoa masih berlangganan memakai jasa Samiyem untuk merawat bong. Termasuk satu keluarga asal Yogyakarta yang belum lama ini mengabarkan akan ziarah Imlek pada Minggu (22/1/2023).
Baca juga: Kisah Pak Pong, Perajin Barongsai Asal Yogyakarta Banjir Pesanan Jelang Imlek
"Mereka memberi saya Rp 200.000 untuk bersih-bersih karena mau datang besok," kata Samiyem.
Tidak hanya Samiyem dan suaminya, warga lain, terutama anak-anak, sekitar pemakaman biasanya juga menantikan momen Imlek. Mereka akan ikut berdatangan ke komplek makam.
Mereka menunggu untuk berebut angpau usai ziarah.
"Saya yang membersihkan, tapi orang-orang lain yang mendapat uangnya. Saya biasanya cuma melihat saja, tapi tidak apa-apa," kata Samiyem.
Keberadaan bongpay, sebutan bagi pemakaman etnis Tionghoa, menggambarkan eksistensi mereka pada masa silam di Kulon Progo. Di Kulon Progo sekarang, etnis ini hanya tersisa segelintir orang . Mereka telah berbaur dengan warga lokal.
Baca juga: Jelang Perayaan Imlek, Kelenteng di Semarang Ini Bersihkan Ratusan Patung Dewa-dewi
Makam orang Tionghoa mudah diketahui dari bentuk kubur, nisan, dan mausoleum (bangunan pelindung makam), karena memiliki ciri khas dan gaya arsitektur tersendiri.
Komplek permakaman berisi ratusan bongpay. Lokasinya hanya 2 kilometer dari pusat Kota Wates. Secara umum, kondisi keseluruhan komplek permakaman masih banyak semak dan rumput.
Samiyem menceritakan, banyak ahli waris yang tidak lagi mengunjungi makam. Hal ini berdampak pada banyaknya bong rusak, tidak rapi, banyak gulma atau semak, bahkan nisan hilang.
Beberapa bong yang dalam kondisi baik biasanya dititipkan ke juru kunci untuk dirawat. Makam yang bersih membuat keluarga Tionghoa yang datang senang.
Keluarga Tionghoa yang ziarah lantas sering memberi upah atas usaha Samiyem. Lansia enam cucu ini mengaku bangga dan senang atas usahanya selama ini.
“Ada yang memberi banyak, tapi ada yang sedikit. Tidak tentu,” kata Samiyem sambil senyum lebar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.