Sampai sejauh ini, ia hanya mengurangi bahan baku telur agar masih bisa berjualan. Hal ini berlangsung sejak harga telur naik tinggi satu bulan belakangan ini.
“Mengurangi separuh kebutuhan telur,” kata Eli.
Strategi lain adalah mengurangi ukuran roti, dari semula 40 gram per butir menjadi 30 gram per butir. Dengan begitu, roti tadinya muat dibungkus 13 sentimeter menjadi roti dalam kemasan plastik ukuran 12 sentimeter.
"Dari sisi bahan baku, hanya telur yang dikurangi. Selebihnya hanya menyiasati berat roti. Rasa memang jadi berkurang tapi tidak signifikan, kalau dikurangi setengah kilo,” kata Eli.
Banyak cara untuk menyesuaikan diri dalam situasi seperti ini. Baik itu godaan menaikkan harga atau bahkan tidak pakai telur sama sekali, hingga mengurangi bahan baku. Eli mengaku tidak memilih langkah itu.
“Bahkan ada teman (produsen) malah tidak pakai telur sama sekali untuk rotinya. Kalau tidak pakai telur sama sekali, ya terasa sekali bedanya,” kata Eli.
"(Bila harga dinaikkan) marketing saya sulit menjual bila harga dinaikkan," kata Eli.
Ia pun tetap menjual roti dengan harga Rp 1.000 per bungkus di tingkat konsumen. Ia berharap bisnis ini terus berjalan di situasi sulit seperti sekarang. Pasalnya, banyak orang di usaha rumahannya itu menggantungkan hidup dari usaha ini.
Eli mengharapkan, pemerintah bisa segera menurunkan harga bahan baku dan menstabilkan harga. Dengan demikian, usaha kecil seperti dirinya bisa bertahan bahkan semakin berkembang.
Sementara, sudah banyak usaha serupa gulung tikar karena beratnya usaha di tengah harga bahan baku naik terus.
“Sebagai produsen roti manis, maka kami minta tolong secepatnya diturunkan harga bahan baku ini. Kalau dibiarkan terus naik, bisa saja gulung tikar. Apalagi pertalite dan solar kalau benar naik nanti,” kata Eli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.