Anger atau marah di mana siswi tersebut marah atas perlakuan yang bertubi-tubi diterimanya, sehingga yang bersangkutan marah pada pihak guru BK dan guru wali kelasnya
Terpojok karena adanya tekanan yang sangat ekstrem sehingga kehilangan kemampuan untuk membela diri. Hal ini terjadi saat siswi tersebut dipaksa memakai jilbab.
Nervousness di mana siswi tersebut merasa tidak tenang atau ketakutan pada masa depan kelanjutan pendidikannya.
"Empat area emosi yang kemudian di asesmen oleh psikolog menunjukkan gejala akibat dari adanya paksaan," ucap dia.
Baca juga: Sultan HB X Beri Pilihan untuk Siswi yang Dipaksa Pakai Jilbab, Orangtua dan Sekolah Berdamai
Budhi Masturi menyampaikan dampak fisik dan psikis yang ditemukan oleh psikolog KPAI Kota Yogyakarta sebagai reaksi atas adanya pemaksaan dan perundungan hampir sama dengan dampak yang ditimbulkan dalam definisi tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sebagaimana di atur dalam Pasal 1 dan Pasal 6 Permendikbud 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Lingkungan Pendidikan.
Di Permebdikbud tersebut mendefinisikan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sebagai tindakan yang dilakukan baik secara fisik maupun psikis serta mengakibatkan ketakutan dan trauma bentuknya antara lain, namun tidak terbatas pada pelecehan perundungan seperti tindakan mengganggu, mengusik terus-menerus atau menyusahkan.
Permendikbud tersebut juga mengatur jenis kekerasan lainnya berbasis sara suku ras antar golongan yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam satu kesetaraan.
Budhi menuturkan, tindakan terhadap siswi tersebut di sekolah sebagaimana dikeluhkan terutama pada saat pemakaian jilbab oleh guru yang telah menyebabkan tekanan psikologis merupakan tindakan kekerasan terhadap anak.
Hal itu sesuai dengan Pasal 1 UU 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengkategorikan pemaksaan sebagai salah satu bentuk dari kekerasan terhadap anak.
"Jadi, yang mendefinisikan kekerasan sebagai setiap perbuatan terhadap anak mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaaan secara fisik dan psikis. Jadi UU itu kalau anak sampai seperti itu, masuk kategori pemaksaan," urai dia.
Sejalan dengan itu, Peraturan Pemerintah 78 Tahun 2021 tentang perlindungan khusus terhadap anak, anak korban kekerasan psikis didefinisikan sebagai anak yang mengalami ketakutan, hilang rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat.
"Jadi, ini sesuai dengan PP ini juga masih identik," kata dia.
Budhi Masturi menuturkan kekerasan psikis yang patut diduga selama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang menjadi rangkaian tidak terpisahkan dari kejadian pemakaian jilbab dan juga insiden siswi tersebut mengurung diri di sekolah, tidak lepas merupakan tanggung jawab dari Kepala SMA N 1 Banguntapan Bantul.
Sebab, menurut Pasal 38 Perda Tahun 2016, kepala sekolah bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru.
Budhi Masturi mengungkapkan sesuai Undang-undang pihak-pihak yang melakukan, turut serta melakukan dan membiarkan tindakan kekerasan terhadap anak juga bisa dikenakan sanksi pidana.
Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta menyimpulkan, pemakaian jilbab kepada siswi tersebut dan tindakan lainnya di sekolah yang menyebabkan siswi tersebut mengalami atau terjadi reaksi yang menggambarkan menurunnya kondisi fisik dan psikis dan runtuhnya harga diri adalah merupakan kekerasan terhadap anak, karena mengandung unsur paksaan dan perundungan.
Baca juga: Siswi yang Diduga Dipaksa Pakai Jilbab Pilih Pindah dari SMA Banguntapan 1
Perbuatan tersebut, lanjut dia, adalah tindakan maladministrasi dalam pelayanan publik karena melawan hukum. Perbuatan tersebut juga tidak patut dalam memberikan pelayanan publik.