Marsel -bukan nama sebenarnya— mengatakan bahwa klitih sudah menjadi "tradisi" turun temurun di SMA di Yogyakarta. Marsel sendiri pernah menjadi bagian dari kelompok klitih di sekolahnya pada era 2007 hingga 2008.
Ketika baru duduk di bangku kelas 1 SMA, kakak kelas yang tergabung dengan kelompok klitih telah memetakan adik-adik kelasnya untuk direkrut.
"Begitu dikumpulin semua jadi satu, sudah ada list-nya SMA musuh yang mana. Kalau enggak mau masuk geng, kalau suatu saat terkena klitih ya enggak bakalan dibantu," kata Marsel kepada BBC News Indonesia.
Marsel sendiri tidak memahami bagaimana SMA tertentu dikategorikan sebagai "musuh", sedangkan yang lainnya sebagai "kawan". Yang jelas, doktrin mengenai siapa musuh dan siapa lawan terus dicekoki oleh para senior, bahkan alumni dari sekolahnya.
Baca juga: Pakar Hukum UGM: Pelaku Klitih di Bawah Umur Bisa Dipidana
"Ya dipanas-panasin terus, namanya anak muda hasratnya masih menggebu-gebu, ya sudah akhirnya terbentuk mindset bawah itu musuh kita," ujar Marsel.
Pada masa itu, Marsel dan teman-temannya biasanya beraksi pada sore hari dengan menargetkan siswa dari sekolah musuh.
"Lalu ditanya, 'kamu dari SMA mana?' kalau ternyata SMA musuh ya diserang," kata dia.
Namun Marsel menambahkan, mereka memiliki aturan tersendiri untuk tidak menyerang pelajar perempuan atau pelajar yang sedang berpacaran. Mereka tidak akan menyerang orang lain secara acak.
Baca juga: Mengenal Klitih Yogyakarta: Sejarah, Perkembangan, dan Sasarannya
Marsel juga pernah ditangkap polisi. Namun pada saat itu klitih hanya dipandang sebagai bentuk kenakalan remaja, sehingga dia hanya diminta wajib lapor selama seminggu.
Kini Marsel mengaku menyesal atas apa yang dia lakukan semasa SMA. "Penyesalan itu pasti ada, ngapain gitu melakukan itu," kata dia.
Kepada para pelajar yang kini masih aktif menjadi klitih, Marsel berpesan, "mending enggak usah, karena enggak ada gunanya. Kesenangannya cuma sementara".
Bahkan bagi dia yang merupakan mantan klitih pun, kondisi di Yogyakarta saat ini sudah sangat meresahkan.
"Karena ini sudah bukan pertikaian antar-pelajar lagi, sudah acak korbannya. Bepergian jadi resah juga, jadi terbatas terutama kalau malam hari," kata dia.
Baca juga: Sosiolog Nilai Aksi Klitih karena Doktrin Kelompok
Dari yang semula terdiri dari pelajar murni yang masih duduk di bangku SMA, kemudian melibatkan para alumni yang ikut mendoktrin dengan dalih menjaga solidaritas almamater.
Selain itu, keberanian para pelajar dalam beraksi juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. Salah satunya, menurut Suprapto, oleh organiasi yang menjual jasa keamanan.
Ketika ditanya siapa kelompok yang dimaksud, Suprapto menuturkan bisa berupa geng kriminal atau para alumni itu sendiri.
Para pelajar juga dimanfaatkan sebagai "tameng" dalam melakukan aksi karena usianya yang masih di bawah umur membuat mereka hanya akan mendapat hukuman ringan apabila tertangkap.
Baca juga: Sosiolog UGM Sebut Fenomena Klitih di Yogyakarta Muncul antara Tahun 2004-2009
Oleh Suprapto, hal ini disebut sebagai "nyilih tangan".
"Bahkan mereka diberi doktrin, dibekali senjata dari yang dulunya batu sekarang mengenal celurit. Itu tidak mungkin dilakukan pelajar atau remaja kalau tidak difasilitasi pihak lain," kata Suprapto.
Dalam kasus yang menimpa Daffa dan Bobi, Suprapto meyakini pelakunya sama-sama kelompok klitih apabila dilihat dari motifnya yang sekadar untuk melukai korban.
Tetapi Suprapto juga meyakini bahwa pelaku klitih tidak memilih korbannya secara acak.
Dalam kasus Daffa, dia yakin bahwa korban telah diidentifikasi sebagai kelompok musuh dan ditargetkan oleh geng klitih yang terdiri dari pelajar murni. Sedangkan dalam kasus Bobi, bisa jadi pelaku "salah sasaran".