Bobi sendiri sebetulnya tidak asing dengan klitih. Ketika masih duduk di bangku SMA, beberapa teman satu angkatannya di sekolah banyak yang bergabung dengan kelompok klitih.
Namun pada saat itu, aksi saling serang hanya terjadi antar-pelajar dari sekolah yang bermusuhan. Permusuhan ini telah terjadi sejak lama dan berlangsung turun temurun.
Oleh sebab itu, penyerangan malam itu membuat Bobi bertanya-tanya: mengapa dia menjadi korban penyerangan?
"Yang bikin kaget semakin ke sini pola penyerangannya semakin acak ke korban dan mereka berani bawa senjata tajam. Zaman aku SMA paling mentok pukul-pukulan helm atau pakai kayu, tapi sekarang pakai senjata tajam," kata Bobi.
Baca juga: Klitih Makin Mengancam, IPW Desak Polisi Perkuat Intel untuk Identifikasi Aktor Kekerasan
Pada Minggu (3/4/2022), Yogyakarta kembali digemparkan oleh tewasnya seorang pelajar kelas 2 SMA yang menjadi korban klitih bernama Daffa Adzin Albasith, yang merupakan putra dari anggota DPRD Kebumen, Makdhan Anis.
Daffa meninggal karena luka di kepala setelah terkena kibasan gir. Itu terjadi ketika korban dan teman-temannya mengejar pelaku yang memancing mereka dengan sengaja menarik gas di dekat motor mereka.
Peristiwa itu kembali memantik keresahan warga di Yogyakarta akan aksi klitih yang terus berulang.
Pada akhir 2021, keresahan akan hal ini juga telah menggema di media sosial dengan tagar #JogjaDaruratKlitih.
Pada 2021, Polda DIY mencatat terjadi 58 kasus kejahatan jalanan. Jumlahnya meningkat enam kasus apabila dibandingkan dengan tahun 2020.
Baca juga: Menyoal Aksi Klitih dan Dilema Penegakan Hukum...
Suprapto - yang pernah meneliti mengenai klitih pada 2004-2009 — mengatakan istilah "klitih" kemudian diadopsi oleh pelajar di Yogyakarta sebagai kegiatan mencari musuh.
Pertikaian antar-SMA di Yogyakarta, menurut dia, telah terjadi sejak lama dan terus langgeng dari generasi ke generasi. Pertikaian itu memunculkan solidaritas almamater dan diwujudkan dalam bentuk pertikaian, dulunya berupa tawuran antar-pelajar.
Pada 2004-2005, Pemerintah Kota Yogyakarta kemudian menerbitkan aturan bahwa pelajar yang terlibat tawuran akan dikeluarkan dari sekolah. Banyak pelajar sadar dan enggan diajak tawuran.
Baca juga: Fenomena Klitih hingga Perang Sarung Meresahkan, Kita Bisa Apa?
"Karena sulit mengajak teman-temannya untuk tawuran, pelajar yang kecewa, yang tidak bisa berprestasi, ingin unjuk diri, maka pelampiasannya dengan menunjukkan kekuatan fisik," tutur Suprapto kepada BBC News Indonesia.
Kekuatan fisik itu kemudian mereka tunjukkan dengan keluyuran menggunakan sepeda motor dengan tujuan mencari musuh.
"Tetapi kan mereka enggak mungkin mau pamitan mencari musuh, maka mereka menggunakan terminologi klitih. Tapi karena tujuannya mencari musuh ujungnya menjadi kejahatan yang dilakukan di jalanan," jelas dia.
Sejak saat itu lah, kata "klitih" mengalami pergeseran makna menjadi negatif.
Baca juga: Anggota DPR Sebut Tindakan Klitih Mirip Teroris, Harus Diberantas Sampai Akarnya