Editor
KOMPAS.com - Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) didesak menghentikan perkara yang menetapkan advokat kasus dugaan kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia, Meila Nurul Fajriah, sebagai tersangka pencemaran nama baik.
Sebab, menurut sejumlah aktivis HAM, Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menyatakan, pendamping korban kekerasan seksual yang terdiri dari psikolog, pekerja sosial, advokat, atau paralegal yang sedang melakukan penanganan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingannya.
Menanggapi desakan itu, Dirreskrimsus Polda DIY, Idham Mahdi, mengatakan, kasus tersebut sedang dalam tahap penyidikan dan sejauh ini perbuatan Meila dianggap telah memenuhi unsur Pasal 17 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baca juga: Pendamping Korban Dugaan Pelecehan Seksual Jadi Tersangka ITE
Idham juga membantah tudingan adanya kriminalisasi terhadap Meila.
Sementara itu IM, pelapor Meila sekaligus orang yang dituduh melakukan dugaan pelecehan seksual, menyebut apa yang disampaikan Meila dalam konferensi pers tahun 2020 silam merupakan fitnah.
Atas dasar itulah IM mengatakan ingin menyelesaikan masalah ini serta memulihkan nama baiknya.
Meila Nurul Fajriah merupakan advokat atau pengabdi bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang fokus menangani isu-isu perlindungan hak-hak perempuan.
Pada tahun 2020 Meila menjadi salah satu pendamping hukum terhadap beberapa korban dugaan kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dalam pendampingan itu, LBH Yogyakarta melalui aplikasi Zoom yang diunggah di kanal YouTube-nya lantas menggelar konferensi pers pada 4 Mei 2020 berjudul 'Update Penanganan Kasus Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh IM'.
Selain Meila, ada dua rekan lain dari LBH Yogyakarta pada acara itu.
Baca juga: Dapat Rp 22,7 Juta dari Promosi Judi Online, Pemain FTV asal Banten Didakwa UU ITE
Meila kemudian memaparkan kronologi bagaimana awal mula lembaganya menerima aduan dari seorang yang mengeklaim sebagai penyintas pelecehan seksual.
Menurut Meila, dari yang tadinya satu orang saja mengadukan kasus tersebut, muncul seorang lainnya yang juga mengeklaim sebagai penyintas dan dia menyebutkan dengan jelas nama terduga pelaku.
"Di awal kami menerima pengaduan ini pada 17 April 2020, adalah penyintas pertama yang mengadukan kepada kami. Pengaduan ini secara resmi dilakukan kepada LBH Yogyakarta lewat prosedur yang selama ini kami lakukan, yakni mengisi formulir pengaduan dan memberikan identitas," ujar Meila dalam konferensi pers online.
"Pascapengaduan kami terus melakukan komunikasi yang mengetahui ternyata penyintas sudah mendapatkan dampingan dari psikolog UII. Dari penyintas pertama dia bercerita kepada temannya bahwa dirinya menjadi korban pelecehan seksual oleh IM dan telah melaporkan kasusnya ke LBH Yogyakarta," sambungnya.
Baca juga: Dibayar Rp 6 Juta Promosi Judi Online, Selebgram Banten Didakwa UU ITE
Sampai pada 4 Mei 2020, klaim Meila, jumlah pengaduan yang diterima LBH Yogyakarta dari seorang pendamping dan gerakan UII Bergerak mencapai "30 pengadu dari 30 orang".
Dan semua data aduan itu disebutnya sudah dengan persetujuan penyintas.
Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, mengatakan, apa yang disampaikan Meila termasuk menyebut nama lengkap terduga bukanlah tindakan pribadi, tapi merupakan keputusan lembaga dan keinginan para penyintas.
"Tuntutan korban pada waktu itu [agar terduga] tidak diberikan ruang, sebab korbannya banyak," ujar Julian dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (25/07).
Namun, pada Oktober 2020, IM melaporkan Meila dan LBH Yogyakarta ke kepolisian dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE atau sangkaan pencemaran nama baik.
Kuasa hukum IM, Abdul Hamid, bilang alasan Meila dilaporkan karena Meila menyebut nama kliennya secara berkali-kali sebagai predator seksual dan pelaku kekerasan seksual tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu atau dasar hukum yang jelas.
Baca juga: Fitnah Perusahaan Walet Gelapkan Pajak Rp 280 Miliar, Pria di Sanggau Kalbar Jadi Tersangka ITE
"Tidak pernah ada satu pun pihak [LBH Yogyakarta] yang minta klarifikasi atau keterangan atas tuduhan itu. Sampai detik ini Meila secara sepihak memfitnah saya," ucap IM kepada BBC News Indonesia, Kamis (25/7/2024).
Selama hampir empat tahun setelah laporan itu dibuat, Meila akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda DIY pada 24 Juni 2024.
Kelompok perempuan mendesak disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).Pasalnya, menurut Koordinator Kontas, Dimas Bagus Arya, advokat memiliki hak imunitas yang melekat pada profesi mereka ketika menjalani tugasnya.
Selain itu, merujuk pada Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan bahwa pendamping hukum korban kekerasan seksual yang meliputi petugas LPSK; petugas UPTD PPA; tenaga kesehatan; psikolog; pekerja sosial; tenaga kesejahteraan sosial; psikiater; pendamping hukum meliputi advokat dan paralegal; petugas lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat; dan pendamping lain yang sedang melakukan penanganan terhadap korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdaya atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendamping atau pelayanannya diberikan tidak dengan itikad baik.
"Jadi ini menunjukkan polisi tidak berpihak pada korban dalam kasus ini, dan polisi telah melecehkan profesi advokat karena tidak melindungi hak imunitas yang melekat pada advokat dalam menjalani tugasnya," ujar Dimas.
Baca juga: Pelaku Tawuran Lewat Medsos di Magelang Terancam Dijerat UU ITE