KOMPAS.com - Sate Kere adalah kuliner khas yang dapat ditemui di Yogyakarta dan Solo.
Sate kere sering dipandang sebelah mata, karena terbuat dari bahan-bahan sisa.
Namun, kuliner lezat ini sangat istimewa dan selalu menjadi buruan penggemarnya maupun wisatawan dari luar kota.
Sate kere artinya miskin. Hal ini diambil dari kata kere yang melekat dari menu sate kere yang dalam bahasa Jawa artinya miskin atau tidak mempunyai uang.
Nama tersebut disematkan lantaran pada zaman pendudukan Belanda, orang yang menyantap sate kere adalah orang-orang pribumi yang berasal dari masyarakat kurang mampu.
Hal tersebut karena, harga daging yang biasa digunakan sebagai bahan baku membuat sate sangat tinggi.
Orang pribumi kemudian mengganti daging dengan gembus (ampas tahu atau tempe) maupun jeroan sebagai pengganti daging.
Baca juga: 5 Tempat Makan Sate Kere di Yogyakarta, Harga Mulai Rp 4.000
Konon, sate kere merupakan hasil kreatifitas dari kaun inlander. Dalam KBBI daring disebutakan bahwa kaum inlander adalah sebutan ejekan bagi penduduk pribumi asli Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan.
Para inlander memanfaatkan bahan makanan yang dibuang kaum kulit putih atau kalangan atas di masa pendudukan Belanda.
Sate kere juga dianggap sebagai counter culture atau budaya tanding yang dibuat penjajah terhadap masyarakat jajahannya.
Penjajah yang berkuasa dengan kekayaannya mampu menikmati sate daging, sedangkan masyarakat pribumi yang terjajah hanya dapat memanfaatkan sisa-sisanya.
Sate kere saat ini tidak lagi sekedar makanan masyarakat miskin. Sate kere telah berubah menjadi makanan wisata, karena memiliki cita rasa khas.
Aroma panggangan sate kere tercium sedap oleh masyarakat maupun wisatawan yang lewat di sepan penjual sate.
Sate kere dapat ditemui di Yogyakarta atau Solo. Meskipun, kuliner tersebut memiliki nama yang sama, namun ada sedikit perbedaan dari bahan yang digunakan.
Berikut ini adalah perbedaan sate kere di Yogyakarta dan Solo.
Baca juga: Nikmatnya Sate Kere Mbak Tug, Sate Langganan Jokowi