KOMPAS.com - Masyarakat Yogyakarta mengenal Jalan Moses Gatotkaca sebagai nama salah satu jalan di daerah Gejayan, namun sedikit yang tahu cerita di baliknya.
Gejayan adalah nama sebuah padukuhan di Kalurahan Condongcatur, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman yang seiring berkembangnya waktu, identik dengan Jalan Gejayan yang pernah menjadi lokasi aksi mahasiswa pada tahun 1998.
Namun aksi mahasiswa tersebut berubah menjadi kericuhan dan jatuhnya korban yang bernama Moses Gatutkaca, sehingga kemudian dikenang sebagai Tragedi Gejayan.
Dilansir dari Kompas.com, Tragedi Gejayan adalah aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa dari beberapa universitas di Yogyakarta pada 8 Mei 1998.
Demonstrasi ini didasari rasa keprihatinan atas kondisi ekonomi negara serta menolak Soeharto berkuasa lagi sebagai presiden.
Hal ini berawal dari kemenangan Golkar pada Pemilu 1997, yang akan memperpanjang masa kekuasaan Soeharto.
Disusul dengan pernyataan Ketua Umum Golkar saat itu, Harmoko, yang mengumumkan bahwa rakyat Indonesia ingin Soeharto menjabat sebagai presiden periode 1998-2003.
Baca juga: Kerusuhan Mei 1998 di DI Yogyakarta, dari Peristiwa Gejayan hingga Pisowanan Ageng
Para mahasiswa di Yogyakarta yang tidak menginginkan Soeharto berkuasa kembali segera bereaksi dengan menggelar referendum tentang kepemimpinan nasional.
Hasilnya lebih dari 90 persen mahasiswa UGM menyatakan penolakan apabila Soeharto menjabat kembali sebagai presiden.
Namun ketika hasil referendum diumumkan, para mahasiswa mendapatkan tekanan dari kampus, kepolisian, hingga intel militer.
Di tengah tekanan yang dihadapi, mahasiswa ternyata tidak gentar dan mulai melakukan serangkaian aksi demonstrasi di beberapa titik.
Aksi mahasiswa bermula pada 2 April 1998, dengan rencana melakukan long march dari kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) menuju Gedung DPRD Provinsi Yogyakarta yang ada di Jalan Malioboro.
Namun, rencana mereka terhambat karena dihalangi oleh aparat yang sudah lebih dulu bersiaga di luar kampus karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Polisi kemudian menawarkan agar para mahasiswa menumpang bus agar lebih mudah diawasi dan mobilisasi massa yang lebih besar dapat dihindari.
Namun, tawaran tersebut ditolak dan mahasiswa tetap memutuskan untuk bergerak.
Tak pelak terjadi bentrokan yang terjadi selama lebih dari satu jam, dengan aksi lempar-lemparan batu antara para mahasiswa dan aparat.
Berlanjut pada keesokan harinya, di mana para mahasiswa berniat untuk melakukan demonstrasi dengan tujuan ke Keraton Yogyakarta.
Hal ini beralasan, karena kala itu Sultan Hamengkubuwono X belum menyatakan dukungannya terhadap gerakan reformasi.
Aparat yang berjaga kembali mengingatkan mahasiswa untuk tidak keluar kampus yang dituruti oleh sebagian mahasiswa.