YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Partai politik di beberapa daerah telah memulai persiapan untuk menghadapi kontestasi Pilkada 2024.
Partai politik pun ramai-ramai membuka pendaftaran untuk penjaringan bakal calon kepala daerah.
Terkait dengan ramainya partai politik di daerah-daerah yang membuka penjaringan bakal calon kepala daerah untuk diusung dalam Pilkada 2024, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Arya Budi memberikan pandanganya.
Arya Budi mengatakan, pilkada dilaksanakan secara langsung pertama kali pada 2005. Pada 10 tahun pertama, partai masih mengutamakan kader.
"Nah, partai di 10 tahun pertama sampai 2010, 2015-an itu masih mengutamakan kader. Aturan-aturan partai itu masih memprioritaskan kader partai," ujarnya, saat dihubungi, Rabu (24/4/2024).
Baca juga: Hak dan Kewajiban Partai Politik
Arya Budi menyampaikan, berdasarkan pengalaman dua kali Pilkada tersebut, partai-partai melakukan eksperimentasi.
Mengusung kandidat yang mempunyai potensi menang itu dianggap lebih bermanfaat daripada kader sendiri yang potensi menangnya kecil.
Berdasarkan hal itulah, kemudian partai mulai mengubah regulasi organisasi termasuk elit politiknya. Mereka memang menjaring kandidat atau mengusung kandidat yang punya potensi menang lebih besar dibandingkan kader sendiri.
Namun selama kader mempunyai potensi menang besar, maka pasti akan diusung oleh partai. Sehingga menurut dia, memang nalar elektoral suka atau tidak mereduksi peran partai di dalam pemilihan kepala daerah.
"Hal kedua di dalam teori wajah partai itu kan ada partai sebagai organisasi, partai di pemerintahan. Nah, partai di pemerintahan itu representasinya adalah parlemen atau kalau di daereh disebut DPRD," ucapnya.
Baca juga: Keanggotaan Partai Politik, Siapa yang Boleh Mendaftar?
Baca juga: Daftar Partai Politik di Indonesia untuk Pemilu 2024
Persoalanya lanjutnya, DPRD itu lemah karena mereka cenderung menjadi 'stempel' dari kepala daerah entah di level provinsi ataupun kabupaten/kota.
Berdasarkan basis itu, sehingga relasi elit partai di daerah itu hampir selalu mendapatkan benefit jika mereka mengusung kandidat yang menang. Kecuali jika DPRD mempunyai kekuatan otoritas yang mirip seperti DPR RI, membuat legislasi dan seterusnya.
"Nah, itu yang kemudian menjelaskan partai-partai di daerah dalam pencalonan, nominasi kandidat itu lebih suka dengan kandidat yang berpotensi menang dibandingkan kader," tuturnya.
Baca juga: Kepengurusan Partai Politik di Indonesia, seperti Apa?
Arya Budi menuturkan, moral value-nya adalah partai harus mengoreksi sistem kaderisasi jika ingin mengusung kader sendiri. Jadi kader partai harus diberi keleluasaan untuk bereksperimentasi di dalam praktik-praktik sosial, politik.
Sehingga kader partai mempunyai popularitas dan tingkat keterpilihan yang dapat bersaing dengan non kader.