Imran menjelaskan wabah antraks di Gunung Kidul ditandai dengan kematian sejumlah sapi dan kambing pada bulan Mei. Sebagian hewan ternak yang mati karena sakit itu disembelih dan dibagi-bagikan kepada warga untuk dikonsumsi.
“Ini yang menjadi salah satu penyebab penyebarannya,” kata Imran dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan Kemenkes, Kamis (06/07).
Salah satu korban yang meninggal, warga berusia 72 tahun berinisial WP, diketahui sempat membantu penyembelihan sapi yang sakit. Ia masuk rumah sakit pada tanggal 1 Juni dengan keluhan gatal-gatal, bengkak, dan luka.
WP dirujuk ke RS Sardjito pada tanggal 3 Juni kemudian diambil sampel darahnya dan didiagnosis suspek antraks. Keesokan harinya, dia meninggal dunia.
Belakangan, tim dari Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates mendapatkan hasil tes positif antraks pada sampel tanah dari lokasi kematian hewan ternak.
Baca juga: Cegah Antraks Masuk Wonogiri, Bupati Jekek Tempatkan Petugas Khusus di Pasar Hewan
Direktur Kesehatan Hewan di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Nuryani Zainuddin menerangkan Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu kawasan endemis antraks.
Sudah lima kali terjadi wabah di wilayah tersebut yaitu pada Mei 2019, Desember 2019, Januari 2020, Januari 2022, dan yang terbaru Mei-Juni 2023.
Nuryani mengatakan penyakit antraks tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat dikendalikan. Kementerian Pertanian menyalurkan 96.000 vaksin antraks ke provinsi-provinsi dan vaksinasi dilakukan setiap tahun oleh pemerintah daerah pada hewan-hewan yang rentan.
“Tapi karena terbentuk spora di tanah, dan adanya faktor risiko purak di Yogya ini ... sehingga menimbulkan faktor risiko kejadian antraks yang munculnya cukup cepat di manusia,” ujarnya.
Baca juga: Dinas DPKP DI Yogyakarta Beberkan Kronologis Ditemukannya Kasus Antraks di Gunungkidul
Untuk kasus terbaru di Gunung Kidul, Nuryani mengatakan kematian hewan ternak sudah terjadi pada November 2022, lalu pada April dan Mei 2023 , namun baru dilaporkan pada dinas terkait pada awal Juni.
Satu warga yang punya riwayat memotong daging sapi yang mati menunjukkan tanda klinis antraks dan meninggal pada 25 Mei dengan diagnosis radang selaput otak (meningitis).
Dua warga lainnya yang juga ikut menyembelih sapi mati menunjukkan gejala klinis kulit gatal bengkak dan mual; mereka meninggal pada tanggal 29 Mei dan 4 Juni.
Kepala Desa Candirejo, David Warisman, mengatakan kematian hewan ternak dilaporkan belakangan karena “banyak pertimbangan”.
“Sebenarnya sebelum Idul Adha itu sudah ada, cuma kami mempertimbangkan ketika ini nanti mencuat ke publik, otomatis kasihan warga kami, peternak kami yang akan menjual hewan kurban karena kan tidak keseluruhannya antraks.
"Jadi banyak hal yang kami pertimbangkan,” kata David kepada BBC News Indonesia lewat sambungan telepon.
Baca juga: Wapres Minta Semua yang Terpapar Antraks Diisolasi, Jangan sampai Merebak ke Daerah Lain
Tentang tradisi Mbradu, dia sendiri tidak tahu sejak kapan tradisi tersebut dilakukan, tetapi menilai itu sebagai perwujudan sifat peduli, keinginan membantu tetangga dengan cara membeli daging hewan yang sudah mati atau yang sakit.
“Mudah-mudahan ada hikmahnya dari kejadian ini. masyarakat jadi lebih selektif, lebih hati-hati untuk mengonsumsi hewan yang sudah mati atau yang sakit,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa warga desanya akan mendukung langkah-langkah yang dilakukan oleh dinas setempat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.