"Kalau pengadilannya ya di Bangsal Ponconiti di Kemandungan Lor," imbuh Daliman. Dinamai Ponconiti karena maknanya ponco itu lima, niti itu hal atau masalah.
Umumnya ada lima hal atau perkara yang akan dilakukan proses hukumnya di bangsal ini, yaitu menyangkut pelanggaran mendem (mabuk), madat (narkoba), madon (bermain perempuan), maling (mencuri), dan mateni (membunuh).
Sesudah hukuman dijatuhkan oleh pengadilan, abdi dalem Mertolulut dan Singonegoro dipanggil untuk mengeksekusi hukumannya atas perintah raja.
Eksekusi biasanya disaksikan banyak orang, bahkan terkadang terhukum akan dipamerkan beberapa lama di ruang terbuka agar selain publik mengetahui, juga supaya efek takut dan patuh terbangun sesudahnya.
"Ini potongan cerita yang wajib disampaikan ke turis sebelum naik Sitihinggil," ungkap Supriyanto, pemandu turis yang biasa bertugas di Pagelaran dan Sitihinggil.
Tugas abdi dalem Mertolulut dan Singonegoro kemudian diakhiri pada tahun 1926 di era Sri Sultan HB VIII.
Masuknya pengaruh kolonial Belanda menjadi salah satu alasan sistem hukum berdasar Syariat Islam perlahan memudar.
Semenjak tugas sang algojo selesai, sejak itu pula kisah seram Mertolulut dan Singonegoro berangsur hilang dari sejarah Mataram.
Sumber:
kratonjogja.id
ngampilankel.jogjakota.go.id
jogja.tribunnews.com