Hingga pada tahun 1674, Trunojoyo yang berhasil merebut kekuasaan Madura dan memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di Madura Barat.
Laskar Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo juga menjalin kerja sama dengan Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian asal Makassar.
Karaeng Galesong adalah pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC.
Kelompok Karaeng Galesong yang berpusat di Demung, Panarukan tersebut setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi Amangkurat I yang bekerja sama dengan VOC.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I.
Pada tahun 1676, pasukan Trunojoyo mengalahkan pasukan Mataram di Gegodog, dekat Tuban.
Kemenangan ini membuka jalan bagi Trunojoyo dan pasukannya untuk menyerang dan merebut Surabaya, kota pelabuhan terbesar di Jawa Timur.
Pasukan Trunojoyo juga membakar sejumlah kota pantai lainnya seperti Gresik, Jepara, dan Cirebon.
Pada akhirnya, Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keraton Plered menuju ke timur, tetapi meninggal di Tegalwangi pada tahun 1677.
Kematian Amangkurat I pada tahun 1677 dinilai menjadi akhir dari Pemberontakan Trunojoyo.
Walau begitu, saat posisi pemerintahan diisi oleh Amangkurat II naik tahta sebagai raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, Trunojoyo masih gencar melakukan perlawanan.
Di sisi lain, pasca telah kemenangannya di Plered, Pangeran Adipati Anom dan Trunojoyo yang sebelumnya bersekutu justru terlibat konflik.
Trunojoyo tidak memenuhi kesepakatan sebelumnya untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Adipati Anom, yang naik tahta dengan gelar Amangkurat II.
Namun, sebagai penerus ternyata Amangkurat II tidak memiliki kekuatan militer yang cukup untuk menghadapi pasukan Trunojoyo.
Akibatnya, Pangeran Adipati Anom memilih untuk beralih ke pihak ayahnya dan meminta bantuan VOC yang saat itu sedang berperang melawan Makassar untuk memadamkan perang Trunojoyo.