Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Keluarga Korban Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Bu Nuk Khawatir Menunggu Sang Suami Pulang

Kompas.com - 13/04/2023, 06:30 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Penembakan misterius - biasanya disingkat 'petrus' - terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia pada periode 1982-1985. Rangkaian peristiwa ini telah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat karena lebih dari 1.000 orang yang dicap preman dibunuh tanpa diadili terlebih dulu. Di Yogyakarta, operasi ini dipimpin militer.

Ibu dua anak itu terlihat gelisah memikirkan suaminya yang sudah beberapa hari tak pulang. Dia waswas Kentus — julukan suaminya — mati dibunuh.

Wahyu Handayani, nama perempuan itu, khawatir Kentus menjadi korban operasi pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap meresahkan masyarakat.

Saat itu di Yogyakarta, pada 1983, nyaris tiap hari ditemukan mayat tak dikenal yang tergeletak di jalanan. Mereka dicap sebagai gali, akronim gabungan anak liar untuk mengistilahkan orang-orang bertato yang melakukan kejahatan.

Ketika itu, sebagian orang yang dicap sebagai penjahat mati, dibunuh — tanpa pernah diadili — karena dianggap meresahkan masyarakat.

Baca juga: Dianggap Aib, Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Petrus Terkendala

Mayatnya biasanya diletakkan di jalanan atau dibuang di hutan. Kondisi tangannya biasanya terikat dan atau dibungkus karung.

Inilah yang membuat Wahyu gelisah. Apalagi pagi itu salah seorang tetangganya tergopoh-gopoh memperlihatkan satu berita di surat kabar.

"Bu Nuk, Pak Kentus masuk koran Kompas," cetus sang tetangga. Adapun Bu Nuk adalah panggilan akrab Wahyu, istri Kentus.

Jari jemari Wahyu kontan gemetar saat membaca judul berita koran pagi itu.

"Tiga warga Yogyakarta pergi melarikan diri ke Jakarta," kata Bu Nuk, mencoba mengingat lagi peristiwa 40 tahun silam, kepada wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dari pemberitaan itu, Bu Nuk baru tahu, suaminya bersama dua warga Yogyakarta lainnya, Monyol dan Mantri, berada di Jakarta untuk mengadu ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Baca juga: Sejarah 12 Pelanggaran HAM Berat yang Disesalkan Jokowi, Tragedi 65-66 hingga Petrus

Ilustrasi tanda tanya. SThinkstock Ilustrasi tanda tanya. S
Tiga orang ini, termasuk Kentus, dicap oleh aparat keamanan sebagai penjahat yang harus dihabisi. Inilah yang melatari mereka berangkat ke Jakarta.

Koran Kompas yang dimaksud Bu Nuk itu, terbit 8 April 1983. Surat kabar itu menurunkan berita di halaman tiga, berjudul: Tiga Penduduk Yogya Mengadu ke LBH Jakarta.

Mereka pergi ke ibu kota saat Garnisun Yogyakarta menggelar Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) dengan target orang-orang yang dicap preman atau di Yogyakarta dikenal sebagai gali — akronim dari "gabungan anak liar".

Kelak peristiwa kekerasan ini, yang terjadi pula di beberapa kota besar di Jawa, disebut sebagai 'penembakan misterius' alias 'petrus'.

Operasi tertutup, yang digelar antara 1982 dan 1985 ini, menargetkan orang-orang yang dicap sebagai penjahat. Nantinya, pemerintahan Suharto mengakui berada di balik operasi yang menewaskan lebih dari 1.000 orang itu.

Baca juga: Penembakan Misterius (Petrus): Latar Belakang dan Dampaknya

Setelah Reformasi 1998, muncul tuntutan kepada pemerintah untuk mengusut tuntas kasus petrus karena dianggap melanggar hak asasi manusia.

Komnas HAM kemudian memutuskan melakukan penyelidikan kasus ini mulai 2008 hingga 2012, antara lain mewawancarai penyintas dan keluarganya, serta mendatangi lokasi pembunuhan. Temuan mereka menguatkan ada pelanggaran HAM berat.

Mereka lantas menyampaikan temuannya kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjutinya. Namun ini tidak pernah direalisasikan dengan berbagai alasan.

Dan barulah pada akhir Desember 2022 lalu, Presiden Joko Widodo, atas nama negara, mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985.

Presiden berjanji menyelesaikannya tanpa melalui proses hukum, walau tak menutup upaya hukumnya, dengan menyiapkan sejumlah program, seperti pemulihan terhadap para korban.

Baca juga: Polisi Identifikasi Petrus di Rusuh 21-22 Mei, Ini Ciri-cirinya...

Empat faktor eksternal terjadinya pelanggaran HAM adalah penyalahgunaan kekuasaan, tidak tegasnya aparat hukum, penyalahgunaan teknologi, dan kesejangan sosial serta ekonomi.KOMPAS.com/Vanya Karunia Mulia Putri Empat faktor eksternal terjadinya pelanggaran HAM adalah penyalahgunaan kekuasaan, tidak tegasnya aparat hukum, penyalahgunaan teknologi, dan kesejangan sosial serta ekonomi.
Kebijakan ini sesuai rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang sebelumnya dibentuk oleh Presiden.

Kira-kira tiga bulan setelah Presiden Jokowi — atas nama negara — mengakui kasus petrus sebagai pelanggaran HAM berat, Bu Nuk agaknya lebih leluasa mengisahkan ulang nasib suaminya.

"Awalnya saya tidak tahu kalau bapak ke Jakarta. Wong bapak punya prinsip 'pergi jangan sampai ada yang tahu ke mana pergi'," ungkap Bu Nuk, istri Kentus, yang kini berusia 64 tahun.

Sejumlah media massa saat itu menyebutkan, Rusdi alias Monyol, Rus Amantri, dan Trimurdjo alias Kentus, mengadukan nasibnya ke LBH Jakarta.

Mereka mengaku merasa terancam akibat operasi pemberantasan gali yang dilancarkan Garnisun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Ketika itu, Monyol mengaku dulunya memang gemar berkelahi, tapi tidak pernah melakukan kejahatan.

Baca juga: Wiranto Ungkap Presiden Duterte Terinspirasi Petrus di Era Soeharto

"Dan saya belum pernah melakukan kejahatan," katanya kepada Direktur LBH Jakarta, AR Saleh, yang menerima kedatangan Monyol, Mantri, dan Kentus, pada 1983.

Baik Monyol, Mantri, dan Kentus, menolak dianggap gali — istilah di Yogyakarta dan sekitarnya untuk menyebut preman — karena mengaku tidak pernah melakukan kejahatan.

Mereka juga mengatakan punya pekerjaan. Monyol mengaku kerja sebagai petugas keamanan diskotek Colombo dan tukang parkir di Jalan Solo.

Adapun Kentus mengaku menjadi petugas keamanan di SMA Bhineka Tunggal Ika dan tukang parkir di Pasar Kranggan. Sementara Amantri menjadi satpam di Shopping Centre.

"Menyerahkan diri belum tentu selamat. Tidak menyerahkan diri dianggap melarikan diri dan sewaktu-waktu bisa tertembak," kata Monyol. Itulah sebabnya mereka meminta perlindungan ke LBH Jakarta.

Mantri lalu mencontohkan, ada seseorang yang menyerahkan diri, tapi akhirnya juga ditembak, karena dituduh mau kabur ketika digelandang ke Kodim 2734.

Baca juga: Istri Anggota TNI di Kota Semarang Jadi Korban Penembakan Misterius, Begini Kondisinya

"Kan aneh kalau orang yang menyerahkan diri berubah menjadi melarikan diri dalam perjalanan," kata Mantri, saat itu.

Kepada wartawan ketika itu, aktivis LBH Jakarta, AR Saleh, yang menerima kedatangan Kentus dan kawan-kawan, mendukung operasi penertiban oleh Garnisun DIY. Tapi dia meminta langkah itu harus tetap menghormati prinsip hukum dan menerapkan asas praduga tak bersalah.

Komandan Garnisun, yang juga Komandan Kodim 0734 Yogyakarta, Letkol CZI M. Hasbi, akhirnya memberikan jaminan kepada mereka, dengan mengirimkan surat surat keterangan No. Ktr/010/IV/1983 tertanggal 9 April 1983.

Tapi, Hasbi menuntut tiga orang itu patuh dan tidak mempersulit petugas keamanan.

Setelah mendapat jaminan, pada Selasa petang, 12 April 1983, mereka kembali ke Yogyakarta, naik kereta api, dengan didampingi Maqdir Ismail dari LBH Jakarta.

Baca juga: Terduga Pelaku Penembakan Misterius di Sidoarjo Ditangkap, Ini Kata Polisi

Mereka juga membuat surat pernyataan di atas kertas segel. Isinya: sepakat menyerahkan diri untuk diperiksa sesuai hukum, tidak akan melawan petugas, serta tidak kabur.

"Semoga ketiganya mendapat perlakuan yang baik, manusiawi, dan sesuai dengan alam Pancasila," harap Saleh, seperti dilaporkan harian Kompas kala itu.

Wajib ikut apel di Koramil dan dibuntuti intel

Harian 'Bernas', 15 April 1983, melaporkan, setelah penyerahan Monyol dkk, Komandan Kodim 0734/Garnisun Yogyakarta, Letkol CZI M. Hasbi, foto bersama dengan aktivis LBH Yogyakarta, Artidjo Alkostar (kiri), Sumarni Basoruddin, dan Maqdir Ismail (kanan).FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Harian 'Bernas', 15 April 1983, melaporkan, setelah penyerahan Monyol dkk, Komandan Kodim 0734/Garnisun Yogyakarta, Letkol CZI M. Hasbi, foto bersama dengan aktivis LBH Yogyakarta, Artidjo Alkostar (kiri), Sumarni Basoruddin, dan Maqdir Ismail (kanan).
Seperti kepergiannya, Bu Nuk pun saat itu tidak tahu suaminya sudah tiba di Yogyakarta, sebelum akhirnya dia membaca berita di koran.

Mereka akhirnya bertemu di halaman SMA Bhinneka Tunggal Ika, tempat suaminya bekerja sebagai petugas keamanan.

Bu Nuk mengajak dua anaknya. "Saat bapak dari Jakarta ke sini [Yogyakarta], ramai di koran. Di sekolahan ada yang baca, dan anak saya lihat," ujar Bu Nuk, mengenang.

Sekembalinya di Yogyakarta, Kentus, Monyol, dan Mantri, tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka menginap di rumah Direktur LBH Yogyakarta, Sumarni Basyaruddin.

Dalam pemberitaan surat kabar saat itu, LBH Jakarta menyerahkan tiga orang itu kepada LBH Yogyakarta guna mendampingi proses peradilan selama mereka di Yogyakarta, dan diproses sesuai hukum yang berlaku.

"Mereka memberikan kuasa kepada LBH Yogya untuk minta perlindungan dan bantuan hukum," kata Sumarni, saat itu.

Baca juga: Usut Kasus Penembakan Misterius di Haruku, Polda Maluku: Masyarakat Jangan Terprovokasi

Selain Sumarni, aktivis LBH Yogyakarta yang ikut mendampingi mereka antara lain Artidjo Alkostar, Daris Purba, dan dibantu Nur Ismanto.

Didampingi sejumlah aktivis LBH Yogyakarta, Kentus dkk akhirnya bertemu Komandan Kodim 0734 Letkol CZI M. Hasbi, pada Kamis, 14 April 1983.

Selama sepekan, Kentus ditahan di Kodim, lalu dipindahkan ke Poltabes.

Saat itulah, seingat Bu Nuk, para pemilik toko di Jalan Malioboro dan Jalan Solo, dikumpulkan dan ditanya apakah mereka pernah diperas dan dimintai uang keamanan oleh suaminya. Menurut Bu Nuk, mereka menjawab "tidak pernah".

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ikut Gladi Bersih Pelantikan, Dua Pejabat Ini Diduga Bakal Isi Kursi Pj Kepala Daerah di DIY

Ikut Gladi Bersih Pelantikan, Dua Pejabat Ini Diduga Bakal Isi Kursi Pj Kepala Daerah di DIY

Yogyakarta
Pungli di Lapas Cebongan Sleman, Seorang Pejabat Diduga Jual Beli Kamar Tahanan

Pungli di Lapas Cebongan Sleman, Seorang Pejabat Diduga Jual Beli Kamar Tahanan

Yogyakarta
Tedhak Siten, Tradisi Turun Tanah yang Penuh Makna dan Harapan

Tedhak Siten, Tradisi Turun Tanah yang Penuh Makna dan Harapan

Yogyakarta
Bus 'Study Tour' SMPN 3 Depok Tertimpa Tiang Listrik di Bali, Semua Siswa Selamat

Bus "Study Tour" SMPN 3 Depok Tertimpa Tiang Listrik di Bali, Semua Siswa Selamat

Yogyakarta
Gagal Menyalip, Remaja 15 Tahun Tewas Ditabrak Avanza

Gagal Menyalip, Remaja 15 Tahun Tewas Ditabrak Avanza

Yogyakarta
Sejumlah Wilayah di Yogyakarta Tak Ada Sekolah Negeri, Disdikpora Berlakukan Zonasi Daerah

Sejumlah Wilayah di Yogyakarta Tak Ada Sekolah Negeri, Disdikpora Berlakukan Zonasi Daerah

Yogyakarta
UGM, Prof Gesang, dan Pengembangan Pesawat Tanpa Awak...

UGM, Prof Gesang, dan Pengembangan Pesawat Tanpa Awak...

Yogyakarta
Habis Masa Jabatannya, Dua Pj Kepala Daerah di DIY Bakal Diganti

Habis Masa Jabatannya, Dua Pj Kepala Daerah di DIY Bakal Diganti

Yogyakarta
Memancing, Remaja asal Bantul Hanyut di Sungai Progo

Memancing, Remaja asal Bantul Hanyut di Sungai Progo

Yogyakarta
Shoka Bukit Senja di Yogyakarta: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Shoka Bukit Senja di Yogyakarta: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Yogyakarta
12 Orang Ikuti Penjaringan Cabup-Cawabup Gerindra Gunungkidul, Siapa Saja Mereka?

12 Orang Ikuti Penjaringan Cabup-Cawabup Gerindra Gunungkidul, Siapa Saja Mereka?

Yogyakarta
Ketua BEM UNY Mengaku Dapat Intimidasi Usai Bertemu Komisi X, Ini Kata Kampus

Ketua BEM UNY Mengaku Dapat Intimidasi Usai Bertemu Komisi X, Ini Kata Kampus

Yogyakarta
Aniaya Anak dan Istri Pakai Golok, Suami di Kudus Diduga Alami Gangguan Jiwa

Aniaya Anak dan Istri Pakai Golok, Suami di Kudus Diduga Alami Gangguan Jiwa

Yogyakarta
Sekolah Negeri dan Swasta Wajib Lapor Disdikpora Kota Yogyakarta untuk 'Study Tour'

Sekolah Negeri dan Swasta Wajib Lapor Disdikpora Kota Yogyakarta untuk "Study Tour"

Yogyakarta
Kronologi Bocah 3 Tahun di Kotagede Alami Luka Bakar 64 Persen Saat Beli Gorengan

Kronologi Bocah 3 Tahun di Kotagede Alami Luka Bakar 64 Persen Saat Beli Gorengan

Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com