YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan peserta Pemilu 2024 berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan tanpa menggunakan atribut kampanye.
Kebijakan ini disambut positif oleh Ketua Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sutrisna Wibawa.
Menurut Sutrisna, fasilitas pendidikan yang digunakan untuk kampanye tidak hanya sebatas di kampus perguruan tinggi, tetapi hingga tingkat SMA. Hal ini bertujuan untuk memberikan pendidikan politik di tingkat SMA.
Baca juga: Tanggapan Orangtua Murid Dengar Putusan MK Bolehkan Kampanye di Lembaga Pendidikan...
"Saya melihatnya positif dari pendidikan positif. Sehingga kita mengemas cara-caranya. Kalau di SMA ini kan bagus juga to untuk memberikan pendidikan politik to, dengan model studium general penjelasan gitu," ujar Sutrisna saat dihubungi, Rabu (30/8/2023).
Menurut dia, siswa tingkat SMA sudah bisa diajak berpikir soal politik pada forum akademik tersebut. Dia juga menilai siswa SMA argumentasinya sudah memenuhi kaidah akademik.
"Anak-anak SMA argumentasinya saya kira sudah memenuhi kaidah-kaidah akademik itu. Kaidah akademik itu kan dasarnya data, kemudian sistematis objektif tidak emosional kan gitu, itu yang kita pakai," bebernya.
Lanjut Sutrisna, dengan membuat forum akademik tersebut dapat sekaligus untuk pengawasan saat kampanye di fasilitas pendidikan.
Dikatakan Sutrisna, dalam praktiknya nanti ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat kampanye, seperti larangan penggunaan atribut saat kampanye.
"Tapi kalau di sekolah di perguruan tinggi kemudian ramai-ramai memasang atribut ya saya gak setuju," ucap dia.
Baca juga: Soal Kampanye di Kampus, Wapres: Jangan Sampai Jadi Basis Capres Tertentu
Kampanye yang dibolehkan seharusnya sesuai dengan kerangka pendidikan politik, jika dilakukan di perguruan tinggi bisa berbentuk seminar dengan mengundang masing-masing kontestan Pilpres.
"Jadi harus dalam kerangka pendidikan politik. Kalau di perguruan tinggi ya bisa seminar, bentuknya begitu masing-masing kontestan menyampaikan lalu secara kritis mahasiswa atau civitas akademik bisa menyampaikan bisa mengkritisi," jelas dia.
Menurutnya dengan model itu, partai politik (parpol) mendapatkan masukan dari pihak kampus, tidak hanya masukan dari mahasiswa tetapi juga masukan dari dosen hingga guru besar.
"Mahasiswa dosen para guru besar itu kan bisa menyampaikan pikiran-pikirannya sehingga akan memperbaiki gagasan (dari parpol) itu, gagasan akan lebih baik," kata dia.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye.
Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Baca juga: Anies Sebut Kuliah Kebangsaan di UI Bukan Ajang Kampanye Pilpres