KULON PROGO, KOMPAS.com – Langit di atas pekuburan Tionghoa sudah benderang sementara tanah masih basah karena hujan yang sempat mengguyur Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada hari pertama Tahun Baru China atau Imlek.
Tampak satu keluarga Tionghoa mengunjungi Bong China ini. Kehadiran mereka cukup menyolok karena kompleks pekuburan ini biasanya tanpa aktivitas sepanjang waktu, seiring sedikitnya keluarga etnis Tionghoa di Kulon Progo.
“Kami ziarah ke orangtua kami. Saya ke sini setiap Imlek,” kata Puji Astuti (77) asal Kampung Beskalan, Kota Yogyakarta, di komplek pekuburan China Giripeni ini, Minggu (22/1/2023).
Baca juga: Menunggu Berkah di Hari Imlek Sambil Bersih-bersih Bong Chino
Lanjut usia kelahiran 1945 ini memiliki nama Yap Tjwan Nio. Ia ditemani anak, keponakan dan cucunya ke bongpi.
Mereka menabur bunga dan berdoa dari mausoleum yang berada di bagian tertinggi di komplek pekuburan, sampai ke nisan yang ada di bagian bawahnya.
“Papa saya (terbaring) di sana,” kata Puji menunjuk mausoleum di ketinggian bukit.
Ziarah menjadi pengingat, menghormati leluhur, juga kekerabatan. Hal ini pula yang diajarkan bagi generasi berikutnya.
Sambil zirah, Puji senang menceritakan keluarga di masa lalu, di mana orangtua adalah pedagang palawija dan pedagang kelontong yang berhasil di Sentolo. Orangtuanya wafat pada masa mundurnya Belanda di Agresi Militer II.
Puji masih balita saat itu. Ia lantas dibesarkan Paklik-nya, adik dari ayahnya.
Baca juga: Update Kasus Bong Mojo Solo: Berkas Terkirim ke Kejari Solo, Penyelidikan Tersangka Baru Bergulir
Puji tumbuh dengan baik. Ia tetap bisa sekolah di Sentolo hingga tamat sekolah dasar. Ia melanjutkan ke jenjang berikutnya di SMP Stella Duce Yogyakarta.
Pada masa itu, ia bisa pulang pergi naik kereta dari Sentolo ke Yogyakarta demi sekolah, setiap hari.
“Naik kereta setiap hari dengan (biaya) 10 Rupiah satu bulan abonemen kereta. Ada dua gerbong khusus untuk anak sekolah. Kereta berangkat dari Kutoarjo, Wates, Sentolo, Sedayu, Rewulu hingga Yogyakarta. Sampai saya tamat 1961,” katanya.
Setelah itu, Puji kursus menjahit dan bekerja. Dari sana, ia menikah dan tinggal di Beskalan sampai sekarang.
Tradisi mengenang leluhur begitu penting bagi keluarga Tionghoa. Generasi ke generasi mesti mengingat dari mana dilahirkan, dibiayai dan dibesarkan. Perjuangan lalu membentuk mereka saat ini.
Banyak orang tidak lagi menjaga tradisi serupa. Mereka mencari cara praktis, namun akhirnya hubungan keluarga terputus.
Baca juga: Merayakan Imlek dengan Empati
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.