KOMPAS.com - Sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, Kraton Kasultanan Yogyakarta mengenal sebuah tradisi atau hajad dalem yang bernama Grebeg.
Grebeg berasal dari bahasa Jawa, ""Brebeg"" atau ""Gumerebeg"" yang berarti suara ribut yang ditimbulkan oleh sorakan dari para penonton.
Baca juga: Makna Gunungan dalam Tradisi Grebeg Keraton Yogyakarta dan Solo
Selain itu, tradisi Grebeg juga identik dengan keberadaan Gunungan yang terdiri dari makanan seperti sayuran, kacang-kacangan, cabai merah, telur, beberapa makanan berbahan dasar beras sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan.
Baca juga: Songgo Buwono, Kuliner Ningrat dari Keraton Yogyakarta yang Penuh Filosofi
Tradisi grebeg Kraton Kasultanan Yogyakarta diadakan tiga kali yang waktunya ditentukan berdasarkan penanggalan Islam, salah satunya adalah Grebeg Maulud.
Baca juga: Benteng Baluwerti, Saksi Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta
Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, rangkaian acara Maulid Nabi di Kraton Kasultanan Yogyakarta akan dibuka dengan upacara Sekaten.
Upacara Sekaten dimulai pada tanggal 5 bulan Mulud (Rabiul Awal) dan berlangsung selama tujuh hari, yaitu sampai dengan tanggal 11 Mulud (Rabiul Awal) tengah malam.
Tanda dimulainya Sekaten adalah dibunyikannya gamelan pusaka Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga.
Setelah itu gamelan Sekaten dipindahkan dari Keraton ke Masjid Besar dan dimainkan selama tujuh hari.
Upacara sekaten ditutup dengan pembacaan Risalah Maulid Nabi Muhammad SAW oleh Pengulu Keraton yang diselenggarakan di Masjid Besar Yogyakarta dan diikuti dengan upacara kondur gongso yaitu mengembalikan gamelan Sekaten ke Keraton.
Setelah ditutupnya Sekaten, maka hari berikutnya dimulailah puncak acara dengan berlangsungnya Grebeg Maulud.
Tradisi Grebeg Maulud adalah puncak acara dari perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W atau yang biasa dikenal dengan perayaan Maulid Nabi di Kraton Kasultanan Yogyakarta.
Grebeg Maulud dilaksanakan pada tanggal 12 bulan Mulud (Rabiul Awal) yang dimulai sejak pukul 07.30 WIB.
Acara diawali dengan parade para pengawal istana atau bregada yang terdiri dari Bregada Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis yang mengenakan seragam kebesaran masing-masing.
Pasukan ini akan berparade dari halaman utara Kemandungan dari Kraton menyeberangi Sitihinggil dan menuju ke Pagelaran di alun-alun utara.
Setelah itu pada pukul 10.00, tujuh buah Gunungan yang telah dipersiapkan akan dibawa meninggalkan Keraton Yogyakarta dengan didahului oleh pasukan Bugis dan Surokarso.
Saat parade menyeberangi alun-alun utara, maka akan dilakukan tembakan salvo dan sorakan pengawal Kraton yang sudah siap menyambut kedatangan gunungan tersebut.
Prosesi yang riuh inilah yang kemudian menjadi asal muasal sebutan atau istilah Garebeg atau Grebeg.
Sebanyak ima gunungan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman dan dua gunungan lainnya dibawa ke Kepatihan dan Pura Pakualaman di mana akan dilakukan doa-doa sebelum akhirnya akan diperebutkan oleh masyarakat.
Masyarakat yang sengaja hadir akan berebut mengambil bagian-bagian dari Gunungan karena percaya bahwa bahwa ubarampe tersebut mempunyai kekuatan supranatural.
Contohnya para petani seringkali menggunakan bagian gunungan yang didapat untuk ditanam di sawah atau ladang mereka dengan harapan akan dijauhkan dari bencana atau nasib sial.
Sumber:
budaya.jogjaprov.go.id
dpad.jogjaprov.go.id
pesonaindonesia.kompas.com
warta.jogjakota.go.id
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.