YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Belasan keluarga di Padukuhan Suru RT 004 RW OO7, Kalurahan Kampung, Ngawen, Gunungkidul, DI Yogyakarta, berangsur pindah beberapa tahun lalu.
Berbagai alasan mulai letak geografis, hingga sulitnya saat menggelar hajatan membuat mereka memilih pindah, dan saat ini tersisa dua kepala keluarga.
Lurah Kampung Suparna mengatakan, sebagian besar warga RT 007 pindah karena alasan geografis yang berada di lereng perbukitan. Dua orang kepala keluarga yang dipindahkan belum lama ini karena tanahnya sudah ada retakan.
Baca juga: Kisah Dua Keluarga Tersisa di Atas Perbukitan Gunungkidul, Dihantui Serangan Monyet
"Sudah diupayakan membangun jalan cor, tapi untuk naik turun kan sulit. Pekerjaan buruh tani, lokasi pertanian ada di bawah, mau naik turun kan jauh," kata Suparna saat dihubungi kompas.com melalui telepon Selasa (29/8/2023).
Dikatakannya, alasan yang lain mengenai sosial kemasyarakatan juga sulit. Suparna mencontohkan, saat warga menggelar hajatan membawa barang seperti kursi dan peralatan pesta akan sulit karena akses jalan yang ditempuh hanya bisa jalan kaki.
Untuk mengangkut hasil bumi juga sulit. Selain itu, manusia harus berkonflik dengan monyet ekor panjang harus dijalani masyarakat. Hasil panen buah sering diambil kawanan monyet ekor panjang.
Upaya yang dilakukan seperti menenam bambu dan buah belum bisa membantu masyarakat yang berkonflik dengan monyet. "Saat dijemur panen diambil sama monyet," kata dia.
Suparna mengatakan, akhirnya belasan kepala keluarga ini pindah mandiri. Sebenarnya sudah ada upaya pihak kalurahan untuk memindahkan dengan berkoordinasi pusat dan propinsi. Namun karena pandemi, akhirnya belum ada kejelasan.
Dari pihak kalurahan sempat menawarkan kepada dua kepala keluarga Tupan dan Winarno untuk pindah dengan anggaran Rp 10 juta dari kalurahan namun ditolak.
Baca juga: Kisah Keluarga di Kuningan Hidup Bersama 5 Ular Bertahun-tahun, Main hingga Tidur Bersama Ular
Salah seorang warga yang masih bertahan diperbukitan Tupan mengakui menolak bantuan dari pemerintah kalurahan. Dengan penghasilan tidak menentu, dirinya sudah tidak memiliki modal untuk membangun rumah.
Dia mengakui sulitnya hidup di atas perbukitan membuatnya ingin pindah. Mulai dari konflik dengan hewan liar, sampai saat menggelar hajatan harus ekstra keras.
"Dulu pernah menggelar pesta di sini. Untung dibantu karang taruan, untuk naik ke sini kan sulit ya," kata Tupan.
Memang akses ke rumahnya cukup terjal, bahkan sepeda motor tua miliknya harus ditinggal di bawah bukit. Dirinya harus berjalan menyusuri perbukitan di batuan cadas selama 10 menit.
Saat Kompas.com berangkat ke rumah Tupan pun memang butuh tenaga ekstra agar sampai ke rumah berbentuk limasan. Jalan yang terjal, ditambah licin karena dedaunan kering jika tidak pandai memilih jalan akan terpeleset.
Baca juga: Kisah Keluarga Korban Meninggal di Jurang Sarangan: Saya Mimpi di Sini Ramai Dipasang Tenda
Suara hewan liar, dan kesejukan lokasi karena pohonnya tinggi menjulang seolah menjadi payung saat berjalan sekitar 15 sampai 20 menit. Kaki Tupan yang sudah terbiasa berjalan di tanah terjal tidak masalah, namun bagi kami yang belum terbiasa cukup berat. Belum lagi jika membawa beban.
Tupan hanya bisa berharap ada bantuan dari pemerintah atau pihak lain agar dirinya serta istri dan seorang anaknya bisa ikut pindah bersama warga yang lain. Hidup normal di tanah yang sudah dibelinya beberapa tahun lalu. "Semoga ada yang membantu," kata dia.
Tak jauh berbeda diungkapkan istri ketua RT 007, Sugiyanti. Dia mengakui sulitnya hidup di perbukitan, namun tidak banyak pilihan. Sambil menggendong cucunya, dia menunjukkan bekas rumah tetangganya yang saat ini sudah menjadi kebun kayu jati.
"Ini dulu ada tiga rumah, sekarang berubah menjadi seperti ini," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.