YOGYAKARTA,KOMPAS.com-Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Gunungkidul, DI Yogyakarta, akan melakukan kajian terhadap penanganan monyet ekor panjang (MEP). Salah satunya melalui skema pembiayaan dana keistimewaan.
"Terkait dengan monyet ekor panjang ada rencana program yang nanti akan kita lakukan melalui dukungan pemerintah DIY melalui Dana Keistimewaan (Danais)," kata Kepala DLH Gunungkidul Harry Sukmono saat dihubungi melalui telepon Rabu (21/6/2023).
Baca juga: Tiga Tahun Meneror Warga, Monyet Ini Berhasil Dievakuasi Setelah Masuk Gudang Gabah
Dijelaskannya, program yang akan dilakukan yakni kajian mengenai monyet ekor panjang, pengadaan tanaman kebutuhan monyet, hingga masterplan kawasan konservasi.
Arahan dari Paniradya Kaistimewaan, untuk menggandeng beberapa pihak terkait pengkajian mep dan konservasinya.
"Sudah menggandeng beberapa pihak seperti Fakultas Kehutanan UGM dan saya juga sudah berkomunikasi dengan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) DIY, melibatkan banyak pihak yang kompeten solusi agar kedepannya tidak mengganggu kehidupan masyarakat," kata dia.
Berdasarkan hasil koordinasi dengan DLH Provinsi DIY, dan BKSDA, konflik antara monyet ekor panjang dan manusia di Gunungkidul perlu mendapatkan penanganan serius.
"Beberapa waktu lalu kami mengumpulkan panewu untuk memantau, melibatkan memotret kejadian-kejadian serangan monyet ekor panjang," kata Harry.
Baca juga: BKSDA Lepas Liarkan Seekor Monyet Endemi Buton ke Hutan Lambusango
Beberapa waktu lalu, Koordinator Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), DPP Gunungkidul, Jayadi mengatakan ada 9 kapanewon kejadian konflik antara monyet dan manusia. Adapun 9 kapanewon ini mulai dari Purwosari, Panggang, Saptosari, Tanjungsari, Tepus, Girisubo, Paliyan, Semin, hingga Ponjong.
Untuk kapanewon sebagian besar terdampak monyet berada di sisi selatan Gunungkidul.
Diakui Jayadi, upaya penanganan monyet ekor panjang tergolong sulit karena berstatus dilindungi selama berada di habitatnya.
Di sisi lain populasinya terus meningkat dan tidak sebanding dengan upaya penangkapan beberapa waktu lalu.
Namun dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tidak merekomendasikan untuk penangkapan.
"Paling masuk akal sebenarnya pengurangan populasi, namun dari BKSDA tidak merekomendasikan. Sejauh ini petani hanya bisa menghalau," kata Jayadi.
Jayadi mengklaim dairi informasi POPT Tepus kerusakan masih tergolong wajar belum masif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.