Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Ranggawarsita, Pujangga Terakhir Tanah Jawa dan Karya-karyanya

Kompas.com, 11 Januari 2022, 16:40 WIB
William Ciputra

Penulis

KOMPAS.com - Masyarakat Jawa di masa lalu mengenal sejumlah nama pujangga besar yang melestarikan dan mengembangkan kesusastraan Jawa. Salah satu nama yang terkenal adalah Ranggawarsita.

Ranggawarsita atau Raden Ngabehi Ranggawarsita dikenal sebagai seorang pujangga besar dari Kasunanan Surakarta Hadingrat. Dia lahir pada tahun 1802 dan wafat pada tahun 1873.

Ranggawarsita dianggap sebagai pujangga terakhir tanah Jawa. Pasalnya, sepeninggal Ranggawarsita belum ada sastrawan lain yang bisa menyamai atau mengunggulinya.

Silsilah Ranggawarsita

Raden Ngabehi Ranggawarsita memiliki nama asli Bagus Burhan. Dia lahir pada Senin Legi, 10 Zulkaidah 1728 Saka, atau 25 Maret 1802 Masehi di Kampung Yasadipura, Surakarta.

Baca juga: Kesusastraan Jawa: Jenis dan Contohnya

Bagus Burhan lahir pada masa kejayaan pemerintahan Pakubuwono IV dari Kasunanan Surakarta. Dia lahir di keluarga yang memiliki darah bangsawan, sastrawan, sekaligus kepujanggaan.

Ayah Bagus Burhan bernama Raden Mas Pajangswara. Kakek dari ayahnya adalah Yasadipura II, seorang pujangga utama Kasunanan Surakarta di masanya.

Bagus Burhan alias Ranggawarsita mewariskan darah priyayi dari pihak ayahnya. Garis keturunannya sampai kepada Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya dari Pajang.

Jika ditarik lebih jauh, silsilah Bagus Burhan dari ayahnya ini akan sampai kepada Prabu Brawijaya, penguasa terakhir Kerajaan Majapahir.

Sementara ibu Bagus Burhan bernama Nyai Ageng Pajangswara. Jiwa kepujanggaan juga diwarisi Bagus Burhan dari silsilah ibunya.

Sang ibu, Nyai Ageng Pajangswara adalah putri dari Suradirja Gantang yang merupakan putra dari Kiai Ageng Nayataruna.

Garis keturunan dari ibu ini akan sampai kepada Kiai Ageng Wanabaya hingga Tumenggung Sujanapura, seorang pujangga Kesultanan Pajang.

Baca juga: Karya-Karya Sastra Angkatan Pujangga Baru

Mengembara Mencari Ilmu

Sejak kecil Bagus Burhan sudah mendapat didikan langsung dari Raden Tumenggung Sastranegara alias Yasadipura II. Bahkan saat itu, kakek buyutnya yang bernama Yasadipura I juga masih hidup.

Konon, sang kekek buyut yaitu Yasadipura I lah yang meramalkan bahwa Bagus Burhan kelak akan menjadi pujangga Jawa terakhir.

Pada usia 4 tahun, Bagus Burhan diserahkan untuk didik oleh Ki Tanujaya. Dia adalah seorang abdi kepercayaan Yasadipura II. Bagus Burhan dalam asuhan Tanujaya hingga usia 12 tahun.

Besar dari kalangan yang mementingkan pendidikan membuat Bagus Burhan menjelma menjadi seorang remaja yang haus akan ilmu pengetahuan. 



Halaman:


Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau