Kebijakan ini merupakan upaya untuk melestarikan budaya dan menanamkan karakter siswa sejak dini.
Kepala MTs Negeri 6 Galur, Muhammad Muslich Purwanto, mengungkapkan keprihatinannya terhadap semakin jarangnya anak-anak muda yang fasih berbahasa Jawa, terutama dalam konteks unggah-ungguh atau tata krama berbahasa.
“Dulu kegiatan seperti ini sudah pernah ada ketika dinas pendidikan masih enam hari kerja, masuk Sabtu. Dinas menerapkan memakai bahasa Jawa di hari Sabtu untuk semua kegiatan. Kemudian berlangsung hal sama di semua dinas. Saya ambil kebijakan satu hari, agar bisa diterapkan bahasa sehari-hari,” ujar Muslich.
Muslich menjelaskan bahwa penerapan program berbahasa Jawa pada Kamis Pon berangkat dari pengamatannya terhadap minimnya anak muda yang mampu menyampaikan pidato dalam bahasa Jawa saat kegiatan masyarakat.
“Sulit sekali cari pemuda yang bisa berbahasa Jawa halus, apalagi jadi MC di mantènan (pernikahan) atau acara masyarakat. Terobosan pun diambil, agar anak-anak memiliki kemampuan bahasa Jawa yang baik dan benar di masyarakat nanti,” tambahnya.
Lebih jauh, Muslich menekankan bahwa penggunaan bahasa Jawa tidak hanya berdampak pada aspek linguistik, tetapi juga menyentuh sisi pembentukan karakter.
“Kalau kita terbiasa bicara dengan unggah-ungguh, otomatis karakter anak terbentuk. Mereka tahu kapan harus menghormati, bagaimana cara meminta tolong yang sopan, dan sebagainya,” jelasnya.
Pemilihan Kamis Pon sebagai hari penerapan bahasa Jawa berkaitan dengan tradisi masyarakat DIY yang mengenakan baju adat Jawa pada hari tersebut, bertepatan dengan hari deklarasi berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Mengenakan pakaian Jawa pada Kamis Pon untuk melestarikan budaya dan sejarah, menegaskan identitas, serta meneladani nilai-nilai luhur nenek moyang,” kata Muslich.
Dalam praktiknya, guru tetap menyampaikan inti materi pelajaran sesuai mata pelajaran masing-masing, tetapi dengan pengantar dan perintah menggunakan bahasa Jawa.
Guru matematika, Zuni Astuti, juga menyambut baik program ini dan telah mencoba menggunakan istilah-istilah matematika dalam bahasa Jawa.
“Tadi saya coba pakai kata ditambahke untuk ‘ditambahkan’ dan disudo untuk ‘dikurangkan’. Memang anak-anak sempat berpikir dulu, tapi ini proses. Kita semua sedang belajar,” ungkapnya.
Siswa kelas 9P, Aulia Syafiqiatunnisa, mengaku kaget dengan metode ini, tetapi tetap bisa memahami pelajaran.
“Rasanya agak sulit karena biasanya pakai ngoko, sekarang harus krama. Tapi ya bisa dipahami. Positifnya kita jadi bisa menguri-uri budaya Jawa,” kata Aulia.
Kepala Madrasah menyatakan bahwa program ini masih akan dievaluasi dan dikembangkan.
“Jika memungkinkan, penggunaan bahasa pengantar daerah tidak hanya berhenti pada bahasa Jawa saja, tetapi bisa dikembangkan menjadi hari bahasa asing. Dulu pernah juga mencoba bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Tapi yang realistis sekarang kita mulai dari bahasa Jawa dulu, karena ini bahasa ibu yang malah sekarang mulai jarang digunakan dengan tepat,” pungkas Muslich.
Dengan langkah ini, diharapkan pembelajaran di MTs Negeri 6 Galur tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga menyentuh aspek budaya dan karakter siswa.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/09/18/175157078/upaya-lestarikan-budaya-mts-di-kulon-progo-ini-pakai-bahasa-jawa-setiap