Menurutnya, fenomena ini sebenarnya sudah ada sejak lama, di mana orang-orang mengunjungi mal tidak hanya untuk berbelanja, tetapi juga untuk rekreasi.
“Pusat perbelanjaan sudah lama menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat,” ujar Miftakhul dalam keterangannya pada Senin (11/8/2025).
Miftakhul menilai bahwa munculnya istilah "Rojali" kemungkinan besar berasal dari keresahan para pelaku usaha, terutama di sektor ritel.
Dalam situasi penjualan yang menurun, kehadiran pengunjung yang hanya melihat-lihat tanpa membeli dianggap tidak menguntungkan.
Dia menjelaskan bahwa fenomena ini berkaitan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat.
Sebelumnya, masyarakat cenderung langsung membeli produk yang mereka lihat di toko, namun kini perilaku tersebut mulai bergeser seiring dengan berkembangnya e-commerce.
“Banyak konsumen memilih untuk membandingkan harga dan kemudian membeli secara online. Biasanya, mereka melihat produk di toko, lalu mengecek harga di marketplace. Jika lebih murah, mereka akan lebih memilih untuk membeli secara online,” jelasnya.
Belum pasti pelemahan daya beli
Meski fenomena "Rojali" menjadi sorotan, Miftakhul menegaskan bahwa hal tersebut belum cukup untuk dijadikan indikator pasti pelemahan daya beli masyarakat.
Penilaian semacam ini memerlukan kajian yang lebih mendalam berbasis data yang valid.
Salah satu pendekatannya adalah dengan melihat hasil survei konsumen dari Bank Indonesia maupun survei penjualan eceran.
Dampak dari fenomena ini terhadap sektor ritel juga tidak bisa diabaikan.
Kehadiran konsumen yang hanya melihat-lihat tanpa melakukan transaksi turut memengaruhi performa pertokoan offline, terutama yang berada di pusat perbelanjaan.
Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi sektor perdagangan di tengah transformasi digital yang semakin pesat.
Miftakhul menekankan bahwa selain inovasi, para pelaku usaha ritel fisik juga harus mengambil langkah konkret untuk menyesuaikan diri dengan preferensi konsumen yang terus berkembang.
Ia mengingatkan bahwa pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perlu segera beradaptasi dengan menjangkau pasar online.
“Namun kenyataannya, tidak semua pelaku UMKM siap. Banyak dari mereka yang sudah berusia di atas 50 tahun, belum melek digital, dan kesulitan memanfaatkan platform online. Tidak sedikit pula pemilik usaha yang enggan menyerahkan urusan digital kepada karyawan karena adanya gap tujuan dan kepercayaan,” paparnya.
Oleh karena itu, Miftakhul menegaskan bahwa pemerintah melalui instansi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, perlu lebih aktif dalam memberikan pelatihan digital marketing kepada para pedagang.
Lebih jauh lagi, ia menekankan pentingnya adaptasi bagi pelaku usaha.
Fenomena “Rojali” mencerminkan transformasi sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung dalam masyarakat.
Dunia usaha, khususnya UMKM, dituntut untuk segera menyesuaikan diri atau bersiap menghadapi tekanan yang semakin besar.
Pemerintah pun harus hadir sebagai fasilitator perubahan agar digitalisasi tidak menjadi momok, melainkan peluang baru bagi pelaku ekonomi kecil dan menengah.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/08/11/131518478/pakar-nilai-fenomena-rojali-imbas-dari-berkembangnya-belanja-online