Ia menekankan, tradisi jamasan ini bukan sekadar ritual, tetapi bentuk “uri-uri” budaya sekaligus pengingat nilai-nilai kepemimpinan Jawa.
“Saya kira kita ada bagian uri-uri kabudayan di Yogyakarta. Jogja sebagai kota budaya punya tradisi yang harus dipelihara, diuri-uri bagaimanapun juga marwah Jogja sebagai kota budaya punya makna besar,” ujarnya, Kamis (24/7/2025).
Hasto mengatakan uri-uri budaya tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat Yogyakarta. Menurutnya dalam jamasan pusaka ini memiliki makna tersendiri, pemimpin harus kandel atau kuat dan kukuh dalam mengabdi kepada masyarakat.
“Bagi kami dalam bahasa Jawa orang itu punya sifat kandel, kandel itu kalau diterjemahkan punya kepekaan diri yang kuat. Sifat kandel punya kekuatan dalam rangka bekerja dan melayani masyarakat. Pemimpin tidak boleh mudah goyah,” jelas dia.
Lanjut dia, pemimpin yang memiliki sifat kandel dalam bekerja tidak mudah goyah atau kukuh.
Hasto menyebut saat ini masyarakat Kota Yogyakarta sangat membutuhkan kemudahan pelayanan.
Pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti
Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yeti Martanti menjelaskan secara historis Pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti merupakan senjata yang dibuat pada tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Kemudian pada tahun 2000, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memberikan pusaka tersebut kepada Pemerintah Kota Yogyakarta yang diserahkan langsung oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada Wali Kota Yogyakarta saat itu R.Widagdo.
"Pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti mempunyai panjang keseluruhan 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan dhapur kudhuping gambir ini, landeannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu Walikun," jelasnya.
Siraman Pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti dipimpin langsung oleh Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo.
Tombak pusaka Kyai Wijaya Mukti merupakan pusaka kebesaran Pemerintah Kota Yogyakarta dan disemayamkan di ruang kerja Wali Kota Yogyakarta.
"Dengan keberadaan tombak pusaka di ruang kerja tersebut, mengisyaratkan adanya pesan-pesan luhur atau simbol kekuatan moral bagi pemimpin untuk selalu berusaha memakmurkan rakyatnya yakni kemakmuran yang dinikmati oleh semua warga, seperti yang disiratkan dalam pamor wos wutah wengkon dan dhapur kudhuping gambir," jelas dia.
Dalam budaya Jawa, pusaka adalah lambang budaya ber-pamor agama, pusaka bukan sekedar senjata apalagi alat. Pusaka adalah dwitunggal antara logam pilihan anti karat dengan unsur spiritual penciptanya, yang terpancar dari aura pamor-nya. Sehingga tegaknya tombak pusaka Kyai Wijaya Mukti, mengisyaratkan luluhnya pamoring Kawula-Gusti. Dalam dimensi vertikal, bermakna pasrah diri dan tunduk-patuhnya insan kamil ke haribaan Sang Khaliknya.
Dalam dimensi horizontal, mensyaratkan sosok pemimpin yang tanpa pamrih bersedia ngawulo, yang siap melayani rakyatnya dalam bentuk public services yang semakin baik, yang menghargai harkat dan martabat warganya serta membangun suatu clean goverment dan good governance.
Keberadaan Pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti juga melambangkan kondisi wijoyo-wijayanti, yakni kemenangan sejati di masa depan, dimana seluruh lapisan rakyat dapat merasakan kamukten atau kesenangan lahir-batin, oleh sebab tercapainya tingkat kesejahteraanyang benar-benar merata.
Pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti yang memiliki dhapur kudhuping gambir, berarti titik awal mulai mekarnya harapan yang akan membawa keharuman Kota Yogyakarta dengan segala predikatnya.
Kegiatan Siraman Pusaka juga diikuti oleh pemilik pusaka di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Dalam kegiatan tersebut, Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) bekerja sama dengan paguyuban Paheman Memetri Wesi Aji (Pamerti Wiji), Abdi Dalem Keprajan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat wewengkon Kota, paguyuban Bergada Segoro Amarto dan pelaku senibudaya di Kota Yogyakarta.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/07/24/151111178/jamasan-pusaka-tombak-kyai-wijaya-mukti-wali-kota-hasto-pemimpin-harus