Erlin adalah anak tunggal dari pasangan Albertus Dominikus Dei (48) dan Fereonika Sa (40).
Ayahnya bekerja sebagai buruh harian di perusahaan sawit, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.
Keterbatasan ini membuatnya harus mandiri dan tinggal terpisah dari orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Merauke.
Ia tinggal bersama sanak familinya di kota tersebut, sedangkan kedua orangtuanya berada di lokasi kerja yang jauh, yaitu di Distrik Wasur, sekitar 66 kilometer dari Merauke.
"Ibu ikut menemani Ayah di Wasur karena Ayah ada sakit jadi memang harus ditemani. Ayah punya darah tinggi, dan memang harus ada Ibu untuk menyiapkan makan, dan lain-lain," jelas Erlin, mengisahkan kondisi keluarganya.
Menjaga Semangat di Tengah Keterbatasan
Selama menempuh pendidikan SMA, Erlin harus berjuang sendirian.
Ia belajar untuk mengelola tanggung jawab sebagai remaja yang terpisah dari orang tua.
Meskipun begitu, ia selalu mengingat pesan dari kedua orangtuanya untuk tetap kuat dan terus berjuang.
"Karena saya anak satu-satunya, orang tua saya selalu bilang, kalau kamu bisa berdiri di kakimu sendiri, pertahankan itu. Karena nanti, kalau bukan diri sendiri yang berjuang, siapa lagi?" tegas Erlin, mengulang pesan ayahnya.
Ia dibesarkan oleh neneknya yang mengidap tumor ganas.
Sayangnya, kondisi finansial keluarganya membuat neneknya tidak mendapatkan perawatan yang layak.
Sebelum meninggal, neneknya berpesan agar Erlin disekolahkan setinggi-tingginya untuk menjadi dokter, agar bisa membantu orang yang sakit, terutama yang kurang mampu.
"Harapan ini sudah selalu saya tanamkan sejak kelas 5 SD," ungkap Erlin, mengisahkan betapa dalamnya keinginannya menjadi dokter.
Keberhasilan akademik pun diraihnya dengan kerja keras;
selama tiga tahun di SMA, Erlin selalu masuk peringkat 1 atau 2, dengan nilai mata pelajaran Biologi, Matematika, dan Agama yang semuanya di atas 90.
Ia menjadi satu-satunya anggota keluarganya yang kuliah di UGM.
"Nama Universitas Gadjah Mada pertama kali saya temukan dalam buku tema saya saat SD. Siapa sangka saya sekarang benar-benar berkuliah di FK-KMK UGM," kata Erlin dengan penuh haru.
Momen pengumuman hasil seleksi menjadi momen paling menegangkan baginya.
"Saya bilang ke Mama dan Bapak, ‘Maaf kalau saya tidak lolos.’ Karena saya tahu saingan di FK-KMK UGM sangat berat," tambahnya.
Beasiswa yang Meringankan Beban
Berkat prestasi dan kerja kerasnya, Erlin mendapatkan Beasiswa UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100 persen dari UGM.
"Penghasilan ayah saya sebagai buruh hanya sekitar dua juta per bulan, itu pun tidak tetap. Tanpa beasiswa, rasanya sangat berat untuk bisa kuliah di luar Papua," ungkap Erlin bersyukur.
Ibu Erlin, Fereonika Sa, juga mengungkapkan kebahagiaannya atas penerimaan anaknya di UGM.
"Saya berharap dengan semua yang anak saya dapat dari UGM ini boleh menjadi bekal dia ke depannya untuk menjadi seorang dokter yang bertanggung jawab terhadap seluruh tugas-tugasnya dengan sepenuh hati," harapnya.
Kisah Maria Elisabeth Ponda adalah gambaran nyata tentang ketekunan dan semangat yang tak pernah padam.
Mimpi besarnya untuk menjadi dokter bukan hanya sebuah tujuan, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/07/23/162358478/kisah-ketekunan-erlin-anak-buruh-sawit-di-merauke-gapai-cita-cita-kuliah