YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Para nelayan di kawasan Pantai Sadeng, Kalurahan Songbanyu, Kapanewon Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mendesak pemerintah untuk kembali membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN).
Kebutuhan akan solar dan pertalite di kawasan ini dinilai mendesak, seiring meningkatnya aktivitas penangkapan ikan.
Ketua Kelompok Nelayan Sadeng, Sarpan, mengungkapkan bahwa SPBN pernah dibangun di kawasan tersebut pada awal 1990-an, namun berhenti beroperasi sekitar tahun 2002.
“Dulu sudah ada (SPBN), tapi karena dulu itu keburu nafsu, Sadeng belum mampu (produksi ikan) tapi sudah dikasih, akhirnya (SPBN) tidak terpakai,” ujar Sarpan saat ditemui di Pantai Sadeng, Rabu (9/7/2025).
Kini, kata Sarpan, kebutuhan bahan bakar meningkat tajam, terlebih untuk kapal-kapal besar dengan bobot hingga 90 Gross Tonnage (GT) yang membutuhkan sekitar 2.500 liter solar setiap kali melaut.
Kapal ukuran menengah, seperti sekoci 30 GT, membutuhkan sekitar 350 liter solar per keberangkatan.
“Yang saya mohon, saya minta ya harus ada itu SPBN, dan juga pabrik es batu,” tambahnya.
Solar Subsidi Minim, Nelayan Beralih ke Non-Subsidi
Saat ini, nelayan Sadeng mengandalkan penyalur lokal untuk memperoleh bahan bakar, baik subsidi maupun non-subsidi.
Meski enggan menyebut harga solar subsidi, Sarpan menyatakan bahwa banyak nelayan menggunakan pertalite yang dijual hingga Rp 11.000 per liter, sesuai batas ketentuan harga eceran tertinggi.
“Saya pakai pertalite, kalau di sini Rp 11.000 per liter,” ujarnya.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Gunungkidul, Wahid Supriyadi, membenarkan bahwa pihaknya telah mengusulkan pembangunan SPBN melalui program Kampung Nelayan Merah Putih.
Namun, progresnya masih terbatas.
“Sudah kita usulkan juga, hanya ketika minggu lalu desk usulan proposal, ternyata wujudnya baru sampai penyiapan lahan, belum berbentuk SPBN seperti yang dibayangkan,” jelas Wahid.
Untuk saat ini, penyaluran Bio Solar subsidi di kawasan Sadeng dilakukan oleh dua sub-penyalur dari Badan Usaha Milik Kalurahan (BUMKal) Pucung, dengan harga Rp 6.800 ditambah Rp 1.000 untuk ongkos transportasi.
Meski tersedia, realisasi distribusinya masih rendah.
“Kuota masih Rp 28.800 liter, tapi realisasinya baru separuh. Kalau harga solar mahal, kemungkinan karena nelayan menggunakan solar non-subsidi seperti dexlite, yang saat ini harganya Rp 13.320 per liter,” kata Wahid.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/07/10/092212578/nelayan-pantai-sadeng-gunungkidul-desak-pemerintah-bangun-spbn-solar