Salin Artikel

Perjuangan Guru Honorer di Sleman: 12 Tahun Melawan Mafia Tanah, Sertifikat Belum Kembali

Hedi Ludiman yang merupakan guru honorer ini sudah 12 tahun berjuang untuk mendapatkan kembali sertifikat tanah milik istrinya yang secara tiba-tiba telah digadaikan ke bank dan dibalik nama.

"Saya sudah 12 tahun berjuang sendirian, ke sana kemari," ujarnya saat ditemui di Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman, DIY, Senin (12/5/2025).

Tanah tersebut berada di Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman dengan luas 1.475 meter persegi.

Di atas tanah tersebut berdiri bangunan rumah berukuran 8 meter x16 meter.

Hedi menyampaikan, peristiwa berawal pada 2011, di mana ada dua orang berinisial SJ dan SH datang bermaksud mengontrak rumah untuk usaha konveksi.

Selama ini bangunan rumah di atas tanah warisan seluas 1.475 meter persegi tersebut memang dikontrakan.

"Ketemu istri saya, mau ngontrak rumah selama lima tahun. Itu kan setahun Rp 5 juta, selama lima tahun berarti Rp 25 juta," ungkapnya.

Awal mula munculnya mafia tanah dalam kasus Hedi

Saat itu SJ dan SH menyanggupi harga tersebut.

Keduanya kemudian menyampaikan akan membayar secara bertahap melalui transfer dan akan mulai menempati pada 2012.

Hedi menuturkan, kedua orang tersebut saat itu meminta sertifikat tanah yang hendak dikontrak kepada istrinya, Evi Fatimah.

Keduanya beralasan sertifikat tanah tersebut sebagai jaminan sebelum menempati rumah.

Saat itu istrinya tidak berburuk sangka terhadap SH. Sebab SH usianya sudah tua sekitar 60-an tahun.

Sertifikat tanah lantas diserahkan pada awal Agustus 2011. 

"Ibunya (SH) itu sudah tua, kan tua seperti ini nggak mungkin menipu. Ini (Evi Fatimah) kan percayanya karena itu," ungkapnya.

Di dalam prosesnya, lanjut Hedi, istrinya, Evi Fatimah diajak ke salah satu kantor notaris di daerah Kalasan, Sleman oleh SJ dan SH dengan alasan membuat surat perjanjian mengontrak rumah.

Di kantor notaris tersebut, SH dan Evi hanya bertemu dengan staf.

Kemudian SH meminta Evi untuk segera menandatangani dokumen. 

Isi yang ditandatangi hanya dibacakan dan tidak boleh dibaca langsung oleh Evi. Tak hanya itu, Evi juga tidak diberikan salinan surat yang ditandatanganinya.

"Tidak tahu maksud dan tujuanya, waktu itu kan ini (Evi Fatimah) masih muda, jadi nggak tahu apa itu notaris. Tidak boleh dibaca, cuma dibacakan. Yang ditandatangani itu nggak tahu, katanya perjanjian kontrak mengontrak," tuturnya.

Sertifikat digadaikan ke bank dan dibalik nama

Usai dari notaris, Evi diminta pulang ke rumah dan tidak ada masalah apa pun.

Hingga akhirnya pada Mei 2012, ada dari pihak salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) datang ingin bertemu Evi.

Hedi mengungkapkan, saat bertemu dengan istrinya tersebut dari pihak bank menyampaikan jika sertifikat tanah sudah digadaikan Rp 300 juta dan kreditnya macet.

Informasi tersebut sontak mengejutkan Hedi, sebab istrinya tidak pernah menggadaikan sertifikat tanahnya ke bank. 

Tak hanya itu, dari pihak bank juga memberikan informasi jika sertifikat tanah atas nama Evi sedang proses balik nama.

"Tidak pernah menggadaikan, ternyata tahu balik nama itu yang bilang dari bank. Sudah dibalik nama, sudah diagunkan bank dan kreditnya macet, katanya seperti itu," urainya.

Mengetahui hal itu, Hedi berinisiatif mengecek ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Hasilnya sertifikat tanah milik istrinya tersebut memang sudah beralih atas nama SJ, orang yang bersama SH hendak mengontrak rumah.

Satu orang divonis bersalah, notaris melanggar kode etik

Hedi lantas memutuskan untuk melaporkan apa yang dialaminya ke Polresta Sleman.

Guru honorer sekolah swasta di Sleman ini melapor terkait dengan penipuan dan pengelapan.

"Saya terus lapor ke Polres Sleman, terkait penipuan dan penggelapan," bebernya.

Polisi lanjut Hedi pada 2014 berhasil menangkap SH yang ternyata ibu dari SJ. Sedangkan SJ masih buron.

Di persidangan, SH diputus bersalah dan dijatuhi hukuman 9 bulan penjara. 

Pada saat di persidangan Hedi terkejut setelah mendapati ada kuasa jual hingga akta jual beli (AJB).

Bahkan KTP istrinya telah dilegalisir oleh pihak notaris untuk pengurusan balik nama. Padahal, istrinya tidak pernah menyerahkan KTP asli ke pihak notaris. 

"Istri saya tidak pernah menyerahkan KTP asli. Kan kalau legalisir tahu aslinya seharusnya, tapi ini tidak tahu aslinya. Istri saya juga belum pernah bertemu dengan notaris itu," ungkapnya.

Hedi lantas melaporkan notaris tersebut ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris. Hasilnya notaris tersebut dinyatakan bersalah melanggar kode etik.

"Saya laporan notaris ke MPD, terus disidang. Terus diketok bersalah melanggar kode etik," ucapnya.

Hedi ajukan gugatan perdata

Tak berhenti di situ, Hedi kemudian melanjutkan perjuanganya dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Sleman.

Hedi menggugat pihak bank, kemudian SJ dan SH.

Putusan dari gugatan perdata tersebut Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima karena gugatan cacat formil. 

Dengan bukti pidana dan pelanggaran etik notaris tersebut, Hedi memutuskan melaporkan pihak bank ke Ditreskrimsus Polda DIY. Namun kemudian keluar surat SP3.

"Setelah tiga minggu saya dikirimi surat SP3. Jadi antara SP3 dengan putusan perdata itu hanya selisih satu minggu," ucapnya.

Sertifikat kembali dibalik nama, padahal sudah diblokir

Hedi mencoba mencari tahu terkait perkembangan SJ yang menjadi buronan.

Dari keterangan pihak kepolisian, berkas kasusnya hilang dan dilakukan pemberkasan ulang.

"Saya tanyakan terus, prosesnya gimana, penangkapanya gimana. Katanya berkasnya hilang. Hilang terus ada pemberkasan baru, pemberkasan ulang," ucapnya.

Pada saat pemberkasan ulang tersebut ternyata ada proses lelang.

Padahal menurut Hedi, sertifikat tanah tersebut sudah diblokir oleh BPN Sleman. 

"Kan diblokir di BPN, saya tanya Pak ada lelang gimana? kalau diblokir itu tidak bisa diperjualbelikan, tidak bisa dibalik nama. Ternyata dalam prosesnya itu dibalik nama lagi," urainya.

Dikatakan Hedi, balik nama untuk kedua kalinya ini dari SJ ke orang inisial RZA.

Hedi pun tidak mengenal dan mengetahui siapa orang inisial RZA tersebut. 

Menurut Hedi, RZA sempat datang dua kali.

Saat datang kedua kalinya, Hedi menjelaskan kepada RZA jika tanah ini masih bermasalah dan dalam penanganan pihak kepolisian.

"Awalnya saya enggak tahu, Dia (RZA) datang ke sini dua kali, yang kedua saya suruh masuk. Duduk di depan saya terangkan kalau ini adalah tanah berperkara, masih proses di Polres," bebernya.

Hedi menuturkan pada 2024, sertifikat posisinya dibalik nama atas nama RZA.

Namun dirinya tidak tahu saat ini apakah sudah dibalik nama lagi atau tetap atas nama RZA.

Hedi berjuang 12 tahun sampai tak mampu belikan susu anak

Diketahui, Hedi Ludiman (49) merupakan guru honorer salah satu sekolah swasta di Kabupaten Sleman.

Dengan berbagai keterbatasan, Hedi belasan tahun berjuang demi untuk mencari keadilan dan sertifikat tanah milik istrinya bisa kembali.

Bapak tiga orang anak ini pun tak kuasa menahan air matanya menceritakan betapa berat perjuanganya selama belasan tahun untuk mencari keadilan. 

"Saya sangat berat sekali, sampai menelantarkan anak dan istri saya," ujar Hedi.

Sebagai guru honorer di sekolah swasta, Hedi menerima gaji Rp 150.000 per bulan. 

Hedi pun harus nyambi menjadi montir mobil untuk dapat menghidupi istri dan ketiga anaknya.

Di tengah kondisi tersebut, Hedi masih harus berjuang melawan mafia tanah yang menyita tenaga dan pikiranya. 

"Sampai tidak bisa membelikan susu karena melawan mafia sangat berat, terintimidasi pikiran dan batin saya. Selama ini mengadu kemana-mana selalu dimentahkan," ucapnya sembari berlinang air mata.

Hedi beserta istrinya hanya berharap sertifikat tanah bisa kembali.

Hedi pun sangat berharap ada bantuan dari pemerintah pusat dan Komisi III DPR RI. 

"Saya minta tolong pada Komisi III RI untuk membantu saya. Saya tertindas, saya guru honorer, tolong saya dibantu dengan kasus ini. Tolong kembalikan sertifikat istri saya, seperti semula," ungkapnya.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/05/12/194557878/perjuangan-guru-honorer-di-sleman-12-tahun-melawan-mafia-tanah-sertifikat

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com