Salin Artikel

Kisah Mbah Wondo, Penggemar Rhoma Irama yang Koleksi 700 Kaset di Rumahnya

Kaset pita meramaikan industri musik pada saat masa lalu. Pita magnetik dalam kaset menjadi tempat menyimpan dan produksi suara, termasuk musik.

Tidak seperti sekarang, musik cukup disimpan di dalam ponsel. Dulu, musik dari tape kaset pita jadi hiburan setelah radio dan televisi.

Ngadiwon alias Mbah Wondo, salah satunya. Pria berusia 63 tahun itu merupakan penggemar setia musik era 1970-an. Ia mengoleksi kaset musik tempo dulu, tape beserta radionya. 

Mbah Wondo masih menyimpan rapi koleksi kasetnya di ruang tamu rumahnya, di Padukuhan Dayakan, Kalurahan Pengasih, Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 

Dia masih memutar kaset-kaset koleksinya. Baginya, sayang bila audio penuh kenangan tersebut diabaikan begitu saja. 

Siang itu, Ngadiwon menyetel kaset pita dari album Olsan Husein yang menyanyi Lebaran. Lagu lawas utu bergenre melayu mendayu.  

“Kaset zaman dulu, satu sisi (side) lagunya itu saja. Kaset ini lagunya Lebaran ini saja di kedua sisi,” kata Ngadiwon di rumahnya, Senin (1/4/2024).

Lagu Lebaran jamak diperdengarkan masyarakat ketika hari raya Idul Fitri tiba. Beruntung Ngadiwon memiliki suara sang penyanyi aslinya dari masa lalu lewat kaset pita.

Ia menimang kaset itu. Sampul kaset cuma satu lembar dengan dua lipatan. Ujung kertas sampul rusak dimakan rayap. Bagian depan sampul ada gambar dua dimensi orang bersalaman. 

Sampul tertulis Selamat Hari Lebaran. Terdapat label Irama Stereo Fidely di sudut kanan. Tapi, di balik sampul ada cap nama Maharaja. 

“Pasti saya putar nanti(di hari Lebaran). Biasanya memang begitu,” kata Mbah Wondo.

Pecinta Dangdut Sejati

Ngadiwon menyukai semua jenis musik yang berkembang di 1970-an. Pamannya sampai membelikan tape radio mini.

Namun, seiring berjalannya waktu, ia condong ke musik dangdut. Kata Ngadiwon, dangdut sangat merakyat.

Menurutnya, lirik musik dangdut menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari. Beda dengan lirik pop yang lebih banyak percintaan.

Masyarakat kebanyakan cepat menerima lirik dangdut. Keluarga dan tetangganya selalu menyetel dan membicarakan lagu dangdut. Rasa suka warga itu menular ke Ngadiwon.

“Sejak itu menyukai dangdut,” katanya.

Dia pun belajar agar pengetahuan seputar musik tidak hanya soal nada dan lirik. Siaran RRI dirasa menyajikan informasi lebih akurat, ketika itu.  Siaran radio ini dipadu dengan koran dan majalah, membuat pengetahuan musik Ngadiwon makin kaya. 

Ia bahkan antusias menceritakan salah satu masa keemasan dangdut. Ketika itu hiburan musik hanya pada acara Aneka Ria Safari di TVRI 1980-an. Lagu pop dominan di sana. 

Dalam perjalanan waktu, porsi dangdut semakin banyak. Menurut Ngadiwon hal itu setelah Itje Trisnawati menikah dengan Eddy Sud, koordinator acara. 

Sebagai penggemar dangdut, ia sangat bersyukur bisa menonton acara ini dengan dangdut yang porsinya memuaskan. 

“Saya terima kasih sekali pada perjuangan Itje. Sebagai penggemar lagu dangdut, sebelum jadi istri Eddy Sud koordinator Safari. Dangdut mau masuk ke sana (acara), itu harganya tinggi beda dengan pop. Saya membacanya di Suara Pikiran Rakyat,” kata Ngadiwon.

Penggemar Rhoma Irama

Rhoma Irama menjadi penyanyi favoritnya. Ia bisa mengumpulkan hampir seluruh album Rhoma Irama.

Bahkan mulai dari si penyanyi masih bernama Oma Irama. Meski tidak bertemu sang idola, lagunya saja sudah membuat lega.

“Setelah menjadi Rhoma Irama. Itu di volume empat, dan mendeklarasikan sebagai musik muslim, maka album Darah Muda ini menggunakan Rhoma Irama,” kata Ngadiwon.

Ngadiwon menambah wawasan seputar Rhoma Irama dari obrolan, radio dan surat kabar. Ia mengikut perjalanan karier Rhoma Irama. 

Mulai dari saat bernama Oma Irama hingga menjadi Raden Haji Oma Irama atau Rhoma Irama Bahkan ia juga mengetahui kisah ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan di masa lalu.

Dia menyebut informasi tersebut saat ini mudah diperoleh di dunia maya. Namun baginya, tak semua informasi di internet benar. 

“Tapi, menurut saya, tidak 100 persen (internet benar). Karena, ada saja yang saya ragu. Kadang, mentang-mentang (para) fans berat lalu dipuji-puji. Tapi, bukan berarti saya merasa paling benar, karena yang penting masuk akal saja,” katanya.

Sembari mengumpulkan satu per satu kaset musik, ia juga mengoleksi belasan radio dan tape jadul. Harga tiap piranti antara Rp 50.000-350.000. Kebanyakan sudah mati dan tak bisa diperbaiki lagi. 

“Ini (tape recorder jadul), sudah saya datangi 11 toko, tapi tidak satu pun bisa,” katanya.

Ingin punya museum pribadi

Kenangan paling mengesankan adalah pada kaset Melodi Cinta dengan sampul bergambar Rhoma Irama dan Ricca Rachim. Itu kaset pertama yang bisa dibeli Ngadiwon di salah satu toko kaset di Wates, Kulon Progo.

Setelah itu, dia terus berburu kaset bekas dari satu pasar ke pasar lain di Kulon Progo. Dengan sepeda onthelnya, dia melanglang ke beberapa pasar loak di Bendungan maupun Wates.

Terkumpullah paling sedikit 700 kaset pita dan hampir semuanya lagu dangdut. Selain itu, ada pula langgam Jawa, keroncong, dan pop Indonesia. Segelintir di antaranya album Rollingstone dan The Beatles.

“Kaset termahal Rp 1.300 di 1980-1985. Sedangkan kaset pertama yang saya dapat itu dapat dari toko Maya, Februari 1982, harga Rp 900,” katanya.

Semua kasetnya itu masih bisa didengar dengan baik. Misalnya kaset lagu Lebaran yang umurnya hampir setengah abad itu, masih terdengar sangat jelas.

Kaset itu akan diperdengarkan kembali saat Lebaran tiba pada pertengahan April 2024 ini.

“Setelah dihitung sejak 1399 Hijriyah pertama kali muncul, kaset ini sudah hampir setengah abad,” kata Ngadiwon.

Ia mengandalkan gaji sebagai penjaga rumah potong hewan di lingkungan Dinas Pertanian dan Peternakan Kulon Progo pada masa lalu, untuk mendapatkan barang kesukaannya itu

Semangat mencari musik kenangan belum padam meski usia senja. Ia selalu menyempatkan diri datang ke pasar Wage, pasar yang pedagangnya menjual barang bekas.

Matanya jeli menemukan barang bekas original berbekal pengetahuannya tentang musik di masa lalu. Ia juga tidak melewatkan tawar menawar ketat demi kaset yang diminati.

Ngadiwon saat ini memajang 700 kaset di dinding ruang tamu rumah. Ia membagi ruang tamu dengan sekat yang tingginya sepinggang.

Ruang yang lebih kecil menjadi tempat pajangan kaset, pajangan radio jadul dan tape recorder. Di situ sekaligus tempat Ngadiwon mengudara pada frekuensi radio amatir. Ia terkenal dengan nama Mbah Wondo di udara.

Mbah Wondo ini bercita-cita membuat museum pribadi di rumah sederhana sebagai gambaran kecintaannya pada musik. Menurutnya, hal itu akan menjadi kenang-kenangan pada anak cucunya kelak. 

Kecintaanya pada musik dan kaset pita telah menular ke anaknya. Menurutnya, sang anak mengaku siap meneruskan memelihara kaset pita itu di masa depan.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2024/04/03/091036878/kisah-mbah-wondo-penggemar-rhoma-irama-yang-koleksi-700-kaset-di-rumahnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke