Salin Artikel

Konflik Monyet dan Manusia di Gunungkidul, Aktivis: Pemerintah Harus Melakukan Kolonisasi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Tingginya kasus konflik antara manusia dan monyet ekor panjang (MEP) diduga karena banyaknya aktivitas perubahan lahan di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.

Hal itu disampaikan oleh Edi Padmo salah satu aktivis komunitas resan Gunungkidul.

Komunitas resan merupakan komunitas yang fokus penanaman pohon di sejumlah wilayah.

"Memang adanya alih fungsi lahan di kawasan pesisir, termasuk JJLS (jalur jalan lintas selatan) dan pendirian bangunan di sekitar tebing pantai (menyebabkan munculny monyet ke pemukiman). Sebab, di sana merupakan habitat monyet," kata Edi ditemui di Wonosari, Kamis (21/3/2024).

Diakuinya, pembangunan yang masif di kawasan selatan Gunungkidul, dari sisi ekonomi masyarakat meningkat. Tetapi disisi alam terjadi penurunan karena terjadi alih fungsi lahan yang cukup besar.

Menurut Edi, seharusnya pemerintah mulai memikirkan tentang koloni habitat MEP.

"Pemerintah harus menyiapkan koloni, disiapkan habitatnya, sehingga monyet bisa hidup dengan tenang. Salah satunya menanam pohon," kata Edi.

Edi mengatakan, upaya pengembalian habitat monyet dengan cara menanam pohon tidak mudah. Dia mencontohkan beberapa waktu lalu menanam bibit pohon buah di sekitar Kalurahan Petir, Rongkop.

Namun, setelah ditanam pohon itu dicabuti monyet. Edi menduga, karena monyet mengira penanam itu akan mengganggu mereka.

"Mungkin monyet itu menduga pohon itu untuk mengusir mereka, atau seperti apa. Hampir sebagian besar pohon yang ditanam menggunakan polybag dicabuti," kata dia.

Edi mengatakan, penanaman pohon bisa dilakukan dengan cara melempar biji tanaman menggunakan ketapel. Biji yang sudah dibalut tanah dibiarkan tumbuh alami.

"Bibit yang tumbuh alami akan lebih aman tumbuh dibandingkan dengan ditanam menggunakan polybag. Tetapi yang utama adalah kolonisasi monyet," kata dia.

Sebelumnya, Kepala DLH Gunungkidul Harry Sukmono mengatakan, jika pihaknya memberikan pakan monyet di empat titik, yakni Kalurahan Purwodadi, Tepus, Giripanggung, dan Sidoharjo. Makanan yang berupa pisang hingga ketela ini diberikan kepada MEP di titik berkumpulnya mereka.

"Rata-rata 4 kali seminggu MEP diberikan pakan, selama 10 bulan. Makananya ya bervariasi mulai pisang, ketela dan buah yang disukai monyet," kata Harry saat dihubungi melalui telepon Rabu (20/3/2024).

Dijelaskannya untuk lokasi penempatan pakan, dilakukan bersama dengan masyarakat sekitar yang lebih paham lokasi berkumpul, sarang, dan yang sering dilalui MEP.

"Masyarakat di lokasi kan yang mengetahui secara pasti dimana saja lokasi sering munculnya monyet," kata dia.

Harry mengatakan selain mengurangi konflik, pemberian pakan ini juga untuk menyusun kajian MEP dan lokasi penangananya ke depan.

Penyusunan kajian penanganan MEP ini bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM. Harapannya kedepan konflik manusia dan monyet berkurang.

Disinggung sejauh mana dampak pemberian pakan, pihaknya masih melakukan kajian. Sebab, masih beberapa kali dilakukan.

Ulu-ulu (perangkat) Kalurahan Purwodadi, Suroyo mengatakan, jika MEP sudah meresahkan warga Kalurahan Purwodadi. Bahkan warga sampai kewalahan mengusir monyet karena saking banyaknya monyet yang datang. Konflik meningkat sejak dua tahun terakhir.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2024/03/21/184335878/konflik-monyet-dan-manusia-di-gunungkidul-aktivis-pemerintah-harus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke